Taipei (ANTARA News) - Pemimpin partai oposisi Tsai Ing-wen memastikan kemenangan telak dalam pemilihan umum pada Sabtu sekaligus akan membuatnya sebagai presiden perempuan pertama di Taiwan karena para pemilih memalingkan dukungan terhadap penguasa yang menjalin hubungan lebih dekat dengan Tiongkok.

Lebih dari setengah suara yang telah dihitung, Tsai melalui Partai Progresif Demokratik (DPP) yang bersikap hati-hati menghadapi Beijing, memimpin perolehan suara sebesar 58,1 persen, sebagaimana penghitungan di tempat pemungutan suara (TPS) yang disiarkan langsung stasiun televisi Taiwan FTV.

Eric Chu dari partai penguasa Kuomintang (KMT) yang bersahabat dengan Tiongkok membuntuti di posisi kedua dengan perolehan suara sebesar 32,5 persen.

Kandidat veteran beraliran konservatif dari Partai Rakyat Utama James Soong berada di posisi ketiga dengan 9,4 persen suara.

Dukungan bagi Tsai melonjak karena pemilih makin gelisah atas upaya pendekatan dengan Tiongkok yang dilakukan Presiden Taiwan dari KMT Ma Ying-jeou baru-baru ini. Ma harus lengser setelah memimpin selama dua periode (delapan tahun).

Akibat perekonomian stagnan, rakyat Taiwan kecewa atas penandatanganan perjanjian dagang dengan Tiongkok yang bisa mengurangi keuntungan bagi masyarakat umum di Taiwan.

DPP lebih berhati-hati mendekati Tiongkok, meskipun Tsai berulang kali menyampaikan keinginannya untuk mempertahankan "status quo".

Massa berkumpul di markas DPP di Taipei, Sabtu petang. Banyak pedagang menjual cendera mata mulai dari mug hingga gantungan kunci bergambar Tsai.

Satu kelompok kecil mengacung-acungkan banner bertuliskan: "Taiwan bukan bagian dari Tiongkok. Dukung kemerdekaan Taiwan."

"Tiongkok tidak berhak mengklaim Taiwan dan kami ingin menyatakan hal itu kepada dunia," kata Angela Shi, anggota kelompok

tersebut yang baru pulang dari San Francisco, Amerika Serikat, untuk menggunakan hak pilihnya di Taiwan.

"Taiwan butuh perubahan, baik ekonomi maupun politik," kata Lee, pria berusian 65 tahun di tempat pemungutan suara, Sabtu pagi.

"Pemerintah terlalu mudah bersandar pada Tiongkok," ujarnya.

Sementara pemilih lain dari kubu KMT di Kota New Taipei menyuarakan keprihatinannya.

"Anda tahu posisi Tsai dalam hubungan lintas selat -- jika tidak tepat dalam mengatasi isu dan ketegangan yang tinggi, tak satu pun akan mendapatkan manfaat," kata Yang Chin-chun, pemilik toko berusia 78 tahun.

Peringatan Beijing

Tsai mencermati strateginya menghadapi Tiongkok. Namun tradisi DPP sebagai partai yang mendukung kemerdekaan Taiwan dan penentangnya menganggap dia akan memperburuk hubungannya dengan Tiongkok.

Presiden Ma dari KMT yang saat ini masih menjabat telah mengatur drama pendekatan dengan Tiongkok sejak berkuasa pada 2008.

Meskipun Taiwan menjalankan pemerintahan sendiri sejak berpisah dari Tiongkok setelah perang sipil pecah pada 1949, tidak pernah mendeklarasikan kemerdekaan dan Beijing masih menganggapnya sebagai bagian dari teritorial Tiongkok yang menantikan reunifikasi.

Puncak dari mencairnya hubungan terjadi dalam pertemuan antara Ma dan Presiden Tiongkok Xi Jinping pada November 2015.

Meskipun menghasilkan lebih dari 20 kesepakatan dan ledakan wisatawan, hubungan lebih dekat memperburuk kekhawatiran terhadap Tiongkok dapat mengikis kedaulatan Taiwan dengan membuat ketergantungan ekonomi.

Rendahnya upah dan dan tingginya harga rumah juga menggelisahkan para pemilih.

Dalam drama lintas selat terkini, kesedihan bintang pop Korea Selatan asal Taiwan mendominasi pemberitaan lokal, Sabtu, bersamaan dengan para kandidat presiden tertarik dalam kegaduhan tersebut.

Chou Tzu-yu, gadis berusia 16 tahun yang tergabung dengan grup band "Twice" berbasis di Korea Selatan, terpaksa meminta maaf setelah memicu kritik dalam jaringan dalam (online) di Tiongkok atas ulahnya melambai-lambaikan bendera resmi Taiwan dalam tayangan internet baru-baru ini.

Video penyesalannya menjadi viral dalam beberapa jam, Capres Chu dan Presiden Ma mendukung pembelaan Tsai dan menuntut jawaban dari Tiongkok dan Korsel atas sikap Tsai.

Beijing telah mengingatkan bahwa tidak akan tawar-menawar dengan para pemimpin yang tidak mengakui prinsip "satu Tiongkok", bagian dari persetujuan tanpa kata antara Beijing dan KMT yang dikenal dengan "Konsensus 1992".

DPP tidak pernah mengakui konsensus tersebut.

Para pengamat mengatakan Tsai tidak mungkin melakukan perbuatan untuk memprovokasi Beijing, jika dia memenangi Pilpres Taiwan.

Mereka juga setuju bahwa hal itu tidak akan segera menimbulkan reaksi dari Tiongkok karena pengasingan Taiwan bertentangan dengan tujuan utama Beijing untuk melakukan reunifikasi.

"Hubungan keduanya akan menjadi rumit dan tidak bisa diprediksi. Mereka akan memperburuk beberapa pencapaian, namun pada saat yang sama kepentingan Beijing adalah mempertahankan Taiwan tergantung secara ekonomi," kata Jean-Pierre Cabestan, pengamat politik dari Hong Kong Baptist University.

Pemilu parlemen juga digelar pada Sabtu. KMT khawatir kehilangan suara mayoritasnya di lembaga legislatif, demikian AFP melaporkan.

(UU.M038)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016