Taipei (ANTARA News) - Tsai Ing-wen dari partai oposisi utama Taiwan akan menjadi perempuan pertama yang menjadi presiden di negara itu dalam kemenangan telak atas Kuomintang (KMT), yang berkuasa, Sabtu, ketika pemilih meninggalkan dukungan mereka terhadap hubungan lebih erat dengan Tiongkok.

Calon dari KMT, Eric Chu, mengakui kekalahan itu, yang membawa bencana bagi partai tersebut, yang tampak dari banyak orang menangis di markas partai itu di Taipei.

Penghitungan suara berlanjut tapi siaran langsung televisi dari tempat penghitungan suara menunjukkan Tsai dari Partai Demokratik Progresif (DPP) meraih kemenangan telak bersejarah, dengan jumlah suara sekitar 60 persen jika dibandingkan dengan 30 persen untuk Chu.

Perolehan itu akan menjadi kemenangan terbesar di antara setiap presiden di Taiwan, dengan rekor sebelumnya adalah 58,45 persen untuk presiden KMT saat Ma Yingjeou pada 2008.

"Maaf ... Kami kehilangan. KMT kalah dalam pemilihan umum. Kami belum bekerja cukup keras dan kami gagal mencapai harapan pemilih," kata calon dari KMT Eric Chu merujuk pada banyak orang menangis di markas partai itu di Taipei.

Chu juga mengatakan KMT telah kehilangan mayoritas posisi di parlemen, ini adalah pertama kalinya kehilangan kontrol atas legislatif di pulau itu.

"Ini merupakan perubahan drastis yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk KMT," katanya.

Dukungan untuk Tsai telah melonjak ketika pemilih menjadi semakin gelisah tentang kesepakatan baru-baru ini dengan Tiongkok di bawah kepemimpinan Ma, yang harus mundur setelah memimpin maksimal dua periode.

Ketika ekonomi stagnan, banyak orang merasa kecewa bahwa perjanjian perdagangan yang ditandatangani dengan daratan telah gagal untuk memberikan keuntungan seperti biasanya bagi Taiwan.

DPP memiliki pendekatan yang lebih hati-hati dengan Tiongkok, meskipun Tsai telah berulang kali mengatakan dia ingin mempertahankan "status quo".

"Kami ingin mengucapkan selamat bagi kemenangan DPP, ini adalah amanat rakyat Taiwan," kata Chu.

Dia membungkuk sebagai tanda permintaan maaf dan menyatakan pengunduran dirinya sebagai ketua partai.

Hubungan

Banyak orang yang bergembira berkumpul di markas DPP di Taipei, di mana Tsai kemudian berbicara, Sabtu.

Pedagang menjual segala sesuatu mulai dari cangkir hingga gantungan kunci dengan gambar Tsai.

Satu kelompok kecil mengangkat spanduk dan mengatakan, "Taiwan bukan bagian dari Tiongkok. Dukung kemerdekaan Taiwan."

"Tiongkok tidak memiliki hak mengklaim Taiwan dan kami ingin mengatakan ini kepada dunia," kata salah satu anggota kelompok, Angela Shi, yang kembali dari San Francisco untuk memilih.

Tsai bertindak hati-hati terkait strateginya terhadap Tiongkok, tapi DPP secara tradisional merupakan partai pro-kemerdekaan dan lawan mengatakan Tsai akan mengacaukan hubungan.

Ma mengawasi persetujuan dramatis dengan Tiongkok sejak berkuasa pada 2008.

Meskipun Taiwan berkuasa sendiri setelah berpisah dari Tiongkok sesudah perang sipil pada 1949, tidak pernah menyatakan kemerdekaan dan Beijing masih melihatnya sebagai bagian dari wilayahnya yang menunggu penyatuan kembali.

Hal itu memuncak dalam pertemuan puncak antara Ma dan Presiden Tiongkok Xi Jinping pada November.

Namun, meski lebih dari 20 perjanjian dan sebuah ledakan wisatawan, hubungan yang lebih erat telah memperburuk kekhawatiran bahwa Tiongkok mengikis kedaulatan Taiwan dengan membuatnya bergantung secara ekonomi.

Gaji rendah dan harga perumahan yang tinggi juga mengganggu pemilih.

Beijing telah memperingatkan tidak akan berurusan dengan pemimpin yang tidak mengakui prinsip "satu Tiongkok", bagian dari perjanjian diam-diam antara Beijing dan KMT yang dikenal sebagai "konsensus 1992".

DPP tidak pernah mengakui konsensus.

Para pengamat mengatakan tidak mungkin Tsai akan melakukan apapun untuk mendesak Beijing jika dia menang.

Pengulas juga setuju tidak akan ada reaksi segera dari Tiongkok, seperti mengasingkan Taiwan akan mencoba melawan tujuan utama Beijing untuk penyatuan ulang.

Dalam peristiwa lintas-selat baru-baru ini, nasib seorang remaja bintang K-pop asal Taiwan mendominasi liputan berita lokal, dengan calon presiden digambarkan dalam kemelut.

Chou Tzuyu (16), seorang remaja anggota grup TWICE yang berbasis di Korea Selatan, terpaksa meminta maaf setelah memicu kritik dalam jaringan di Tiongkok untuk melambaikan bendera resmi Taiwan dalam siaran internet baru-baru ini.

Video penyelasan dirinya menyebar dengan cepat dalam beberapa jam, dengan Tsai, Chu, dan presiden Ma masuk ke dalam pembelaannya, Sabtu, dan menuntut jawaban dari Tiongkok dan Korea Selatan atas perlakuannya, demikian AFP melaporkan.

(SYS/M052/B002)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016