Jakarta (ANTARA News) - Rapat konsinyering antara Panitia Kerja Prolegnas 2016 Badan Legislasi DPR, DPD, dan pemerintah pada Rabu (20/1) malam menjadi titik penting untuk mengatasi persoalan terorisme di Indonesia.

Dalam rapat itu disepakati revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Peristiwa serangan bom oleh kelompok teroris pada Kamis (14/1) tidak bisa dipungkiri menjadi faktor utama UU Terorisme direvisi, karena "usia" UU tersebut yang sudah uzur sehingga dinilai perlu perbaikan mengikuti perkembangan pola gerakan terorisme.

Kesempakatan revisi itu tentu patut diapresiasi karena semua pihak satu suara bahwa gerakan terorisme harus direspons dengan upaya pencegahan yang cepat, tepat, dan tanpa kompromi. UU Terorisme itu masuk dalam daftar 40 Proyeksi Legislasi Nasional 2016, dan ditargetkan segera selesai pada tahun ini.

"(UU nomor 15 tahun 2003) sudah masuk (Prolegnas 2016) atas usulan pemerintah dilakukan perubahan. Kami menyetujui karena sifatnya mendesak," kata Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas.

Dalam kasus terorisme, sebenarnya pemerintah memiliki dua UU, yaitu UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU Nomor 9 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Namun dalam rapat konsinyering itu hanya disepakati UU No 15 tahun 2003 yang direvisi, sementara UU nomor 9 tahun 2013, langkah itu kemungkinan disebabkan keinginan pemerintah untuk memperkuat peran Polri dalam menindak gerakan terorisme.

Di UU Nomor 9 tahun 2013 memang lebih banyak mengatur mengenai upaya pemberantasan dan pencegahan pendanaan terorisme, khususnya mengenai aliran dana teroris dengan mengedepankan peran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Ketua Panja Prolegnas Firman Subagyo mengatakan revisi UU Terorisme itu menjadi penting karena selama ini belum mengakomodir penggunaan teknologi modern dalam memberantas terorisme.

Menurut dia, perkembangan gerakan terorisme saat ini tidak hanya digerakkan dari dalam negeri namun luar negeri sehingga upaya pemberantasannya membutuhkan dukungan teknologi modern.

"Senjata yang digunakan secara ilegal dan legal, perbatasan Indonesia dengan negara-negara sahabat nyaris tidak bisa diawasi. Misalnya senjata yang digunakan terorisme dirakit di Filipina," ujarnya.

Dia menegaskan, dalam revisi UU Terorisme dipastikan tidak akan mengakomodir keinginan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk diberikan kewenangan menangkap dan menahan dalam kerja penggalian informasi.

Menurut dia, kerja BIN dalam menggali informasi sifatnya senyap sehingga yang dibutuhkan adalah peningkatan kerja sama lintas sektor dalam upaya pemberantasan terorisme.

"Revisi UU Terorisme akan diikuti juga dengan revisi UU Narkoba karena ada indikasi para bandar narkoba sudah mulai ada keterlibatan dengan kaum radikal," katanya.

Ketua Baleg DPR Supratman mengatakan proses selanjutnya setelah UU Terorisme disetujui masuk Prolegnas 2016, maka pembahasan dan penyusunannya ada pada masing-masing komisi.

Dia mengatakan, tugas Baleg DPR hanya menyusun Prolegnas dan kalau sudah selesai di tingkat 1 maka dilakukan harmonisasi UU tersebut.

"Finalisasi akhir terkait harmonisasi UU agar tidak bertentangan antara UU satu dengan yang lain," katanya.

Kesiapan DPR untuk segera menyelesaikan revisi UU Terorisme disampaikan Ketua DPR Ade Komaruddin yang menyatakan institusinya siap segera menyelesaikan revisi UU nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

"Demi memberikan rasa aman kepada masyarakat, kami semua kerja keras (revisi UU Terorisme)," katanya.

Dia menjelaskan, sejak awal institusinya menyampaikan kepada Presiden Joko Widodo dalam rapat konsultasi lembaga-lembaga negara pada Selasa (19/1) terkait UU Terorisme.

Menurut dia, institusinya dalam rapat itu menyatakan siap merevisi UU Teorisme ataupun dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

"Kami menyatakan siap untuk revisi (UU Terorisme) ataupun (apabila Presiden mengeluarkan) Perppu," ujarnya.

Ade mengatakan revisi itu diharapkan bisa memberikan rasa aman kepada masyarakat dengan memperbaiki kekurangan dalam UU tersebut.

Politikus Partai Golkar itu enggan menyebutkan target revisi itu selesai karena harus melihat draf dari pemerintah terkait berapa usulan pasal yang akan direvisi.

Dia menilai berapa lama pembahasan revisi itu terkait dengan jumlah pasal yang akan direvisi, karena setiap materi pasti menimbulkan perdebatan dan semua aspirasi masyarakat harus ditampung misalnya tentang definisi pencegahan.

"Saya sudah berkomunikasi dengan Menkopolhukam (Luhut Pandjaitan), beliau menanyakan kira-kira (revisi UU Terorisme) berapa lama. Lalu saya tanyakan berapa pasal (yang diajukan pemerintah untuk direvisi)," katanya.

Namun dirinya tidak mau mengomentari terkait materi apa yang akan direvisi dalam UU tersebut, meskipun di masyarakat beredar wacana itu karena institusinya tidak mau mengomentari hal yang belum ada.

Dia menjelaskan, revisi itu akan dibahas di Badan Musyawarah (Bamus) DPR lalu diagendakan dibacakan di Rapat Paripurna kemudian dalam rapat itu akan dibicarakan apakah revisi tersebut dibahas di komisi atau panitia khusus.

Ketua Komisi I DPR Mahfudz Sidik meminta pemerintah mengevaluasi kinerja aparat di kementerian/lembaga dalam penanggulangan terorisme sehingga jangan hanya mendahulukan langkah revisi UU Terorisme.

"Sebelum revisi maka evaluasi penanggulangan terorisme dan pelaksanaan UU Terorisme selama ini seperti apa," katanya.

"Apabila dalam evaluasi itu ditemukan bahwa kelemahannya ada di implementasi maka itu yang harus diperbaiki. Namun kalau implementasi sudah maksimal namun kewenangannya masih terkendala aturan maka silahkan (revisi)," ujarnya.

Menurut dia, dalam UU Nomor 15 tahun 2003 sudah dijelaskan dengan rinci bahwa tiap WNI yang berada di luar negeri lalu terbukti melakukan tindakan terorisme dapat dikenakan pidana.

Sementara itu Wakil Ketua Fraksi PKB di DPR Daniel Johan mendukung revisi UU Terorisme untuk memberikan payung hukum kepada aparat dalam melakukan tindakan pencegahan.

"Intinya kami ingin memberikan payung hukum kepada aparat mengambil tindakan pencegahan agar tidak terjadi kekerasan, berbeda dengan rezim Orba yang serba represif," ujarnya.

Dia menegaskan semangat revisi UU Terorisme adalah menjamin perlindungan kepada masyarakat luas secara dini. Revisi UU itu, menurut dia, bukan untuk kembali ke rezim Orba yang serba represif.

"Iya pasti (revisi terkait kejadian bom di Jalan MH Thamrin), karena penyebaran jaringan radikalisme semakin kuat dan meluas," ujarnya.

Sekretaris Fraksi PKS di DPR Sukamta memberikan catatan terkait revisi UU Terorisme. Pertama menilai konstruksi UU itu terlalu rinci, namun melupakan aspek lain seperti soal asas karena meskipun terorisme sebuah kejahatan besar, namun asas dalam undang-undang itu harus diatur.

Dia mencontohkan, asas kesetaraan pemberantasan dan pencegahan hendaknya tidak cenderung berat kepada agama, ras atau kelompok tertentu.

"Kedua, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme tidak diatur apa itu terorisme," katanya.

Menurut dia, di kedua UU itu yang ada hanya beberapa aturan bahwa setiap orang yang melakukan tindakan tertentu dipidana dengan hukuman tertentu namun istilah terorisme tidak didefinisikan.

Dia menilai penggunaan kata teror-isme perlu dikaji kembali, karena kata "isme" memiliki arti paham, konsep pemikiran atau ideologi, sehingga terorisme adalah paham, konsep pemikiran atau ideologi yang menganut ajaran dan tindakan teror.

"Tidak masalah apabila terorisme mau didefinisikan seperti apa, yang penting disepakati agar tidak abu-abu sehingga tidak menimbulkan tindakan serampangan dalam menentukan seseorang teroris atau bukan," ujarnya.

Ketiga, menurut dia, UU itu mengatur pemberantasan lalu bagaimana dengan aspek pencegahannya, karena pemberantasan memiliki konotasi setelah kejadian, sedangkan pencegahan memiliki arti teror itu jangan sampai terjadi.

Keempat, ujar Sukamta, perkembangan teknologi sangat memungkinkan tindakan teror itu dilakukan secara cyber teror misalnya tayangan teror di media-media online atau teror terhadap sistem atau instalasi cyber yang mungkin berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Dia menjelaskan catatan kelima BNPT selama ini beroperasi berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP), bukan UU.

"Dengan adanya revisi UU, BNPT bisa punya kekuatan lebih, khususnya dalam mengoordinasikan pencegahan dan pemberantasan terorisme yang mungkin juga dilakukan instansi lain," katanya.

Anggota Komisi I DPR itu menilai bisa menjadi bahaya kalau suatu lembaga sangat kuat tetapi aspek hukumnya tidak jelas dan lengkap sehingga berpotensi bertindak serampangan.

Oleh Imam Budilaksono
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016