Ketimpangan ekonomi dengan indikator semakin menumpuknya kekayaan pada segelintir orang dibandingkan kekayaan yang dimiliki orang kebanyakan kini kian menganga.

Fakta itu tentu bukan hal baru dalam praksis ekonomi di level internasional maupun nasional ketika sistem ekonomi yang diimplementasikan adalah sistem perekonomian pasar bebas yang secara klasik biasa disebut liberalisme.

Para penganjur liberalisme tentu akan berargumen, jika soalnya adalah menghilangkan ketimpangan kaya-miskin, tak ada sistem perekonomian modern yang benar-benar ampuh mengatasinya. Tidak juga sistem pesaing liberalisme, yakni sosialisme.

Bahkan dalam sistem perekonomian sosialis, yang dipilih oleh negara-negara komunis, ketimpangan itu sangat mencolok karena hanya keluarga rezim penguasa dan kroni-kroninya yang menikmati kekayaan negara, sementara sebagian besar warga hidup dalam pemerataan kemiskinan.

Fakta bahwa semakin banyak negara-negara yang meninggalkan sistem ekonomi sosialis dan beralih ke sistem pasar, termasuk negara yang politiknya berideologi komunis seperti Tiongkok, membuktikan bahwa liberalisme merupakan pilihan paling populer di antara sistem alternatif yang ada.

Namun sistem ekonomi liberal itu kini sedang menemui paradoks dalam dirinya. Dalam pertemuan Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, 21-23 Januari ini, para pakar ekonomi dunia memperkirakan bahwa ketimpangan yang kian menajam di tingkat global akan menjadi ancaman bagi perekonomian dunia.

Yang menyedihkan, kekayaan yang diraup segelintir orang-orang kaya dunia itu dikumpulkan bukan saja lewat hasil investasi yang mengikuti standar undang-undang, tapi juga lewat penipuan dan manipulasi.

Penipuan dan manipulasi yang paling nyata yang dilakukan orang-orang kaya itu tentunya berlangsung sejak lama dan fenomena itu antara lain terekam dalam buku memoar Jordan Ross Belfort, seorang pialang saham yang dipenjara karena terbukti memanipulasi dalam transaksi perdagangan saham di bursa Wall Street.

Kisah nyata itu mengilhami Martin Scorsese membuat film dengan judul yang sama, "The Wolf of Wallstreet", yang kian menelanjangi betapa kekejian dan kejijikan berkelindan dalam hidup sang manipulator kaya-raya itu.

Yang menarik, sistem ekonomi liberal itu, sekalipun membuka peluang bagi pelaku-pelaku utamanya untuk memanipulasi, merupakan sistem yang paling sintas, dan diyakini oleh Francis Fukuyama sebagai sistem terakhir yang menang dalam sejarah peradaban manusia modern.

Sistem ekonomi liberal memang menciptakan ketimpangan yang tak terelakkan tapi sesungguhnya sistem inilah yang menciptakan kekayaan baru, kemelimpahan sebagai akibat dari kreativitas dan inovasi, yang hanya dimungkinkan oleh paradigma liberalisme.

Kekayaan yang diraih pemilik Microsoft Bill Gates, atau pendiri dan pemilik Facebook Mark Zuckerberg tidak mengurangi kekayaan orang lain karena pada dasarnya dia menjadi kaya karena berangkat dari sebuah kreasi. Itu jelas berbeda dengan kekayaan yang dikumpulkan oleh seorang penguasa.

Faktor lain yang membuat liberalisme sintas adalah faktor esoterik yang menggerakkan para hartawan dunia itu menjadi kaum penderma, kaum filantropis. Belum terdengar ada seorang diktator, presiden atau jenderal yang memupuk kekayaan mereka lalu mendermakan sebagian besar harta itu untuk kepentingan publik.

Sistem ekonomi liberal itu, yang hanya mungkin beroperasi dalam sistem politik demokratik, juga dapat mengoreksi kelemahan-kelemahan dalam dirinya. Para manipular dan penipu besar itu entah oleh suara kudus atau suara kalbu sebagian akhirnya menulis memoar, dan mengilhami seniman lain untuk menggubahnya dalam film sehingga kedok dan kejahatan mereka diketahui banyak orang dan sistem hukum akan memperbaiki diri untuk bisa menjerat penjahat serupa di kemudian hari.

Tampaknya, ketimpangan yang dilahirkan oleh liberalisme itu memang tak terelakkan dan sistem perekonomian bebas yang dipilih oleh para pengambil kebijakan ekonomi dunia sampai kini tak punya pesaingnya, sistem ekonomi alternatif yang meyakinkan bisa mengobati ketimpangan itu.

Dalam skala nasional, pernah dicoba diwacanakan oleh ekonom Mubyarto dengan tawaran Sistem Ekonomi Pancasila, namun sampai sekarang tak kunjung terimplementasi. Tampaknya, sintesa yang hendak dilakukan Mubyarto dengan hanya mengambil sisi positif dari liberalisme dan sisi positif dari sosialisme tak membumi dan tak realistis.

Liberalisme sangat realistik karena bertumpu pada naluri dasar manusia, yang ingin mempunyai lebih banyak dan lebih banyak lagi. Naluri seperti itu hanya dimungkinkan cuma di sistem yang memberikan kemerdekaan manusia untuk mewujudkan keinginan mereka.

Tentu liberalisme itu dijamin kesintasannya ketika negara juga menjalankan apa yang menjadi salah satu karakteristik sistem liberal, yakni penegakan hukum dengan salah satu fitur utamanya: kesetaraan di depan hukum.

Tanpa diiringi dengan penegakan hukum yang antara lain berupa penerapan kesetaraan warga di depan hukum, sistem ekonomi liberal akan menjadi rimba perebutan kekayaan yang pada akhirnya melahirkan petaka bagi semua pihak.

Tampaknya ketimpangan yang kini sedang melanda masyarakat global ini tak mungkin lagi melahirkan ilusi atau utopia bagi para pemimpin dunia mana pun untuk mengisolasi diri dan membangun sistem ekonomi alternatif.

Yang bisa dilakukan adalah berharap bahwa sistem hukum bisa semakin menutup peluang bagi para segelintir hartawan global untuk melakukan manipulasi dan berharap bahwa di antara mereka semakin banyak yang akan mengikuti jejak Bill Gates untuk menjadi filantropis demi kesintasan umat manusia, terutama mereka yang hidup sengsara di negara-negara miskin.

Oleh M Sunyoto
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2016