intelijen lawan akan menandai anggota Tim Pengawas Intelijen Indonesia sebagai sasaran operasi, bisa mulai dari bentuk yang paling halus, yakni pendekatan personal, hingga cara brutal..misalkan penculikan
Jakarta (ANTARA News) - Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI Laksamana Muda (Purn) Soleman B. Ponto menilai Tim Pengawas Intelijen DPR yang telah disahkan kemarin justru berpotensi membahayakan keselamatan anggota DPR sendiri.

"Pihak intelijen lawan akan menganggap tim pengawas sebagai orang yang paling banyak tahu tentang kegiatan operasi intelijen Indonesia," kata Soleman dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu.

Lalu, intelijen lawan akan menandai anggota Tim Pengawas Intelijen Indonesia sebagai sasaran operasi, bisa mulai dari bentuk yang paling halus, yakni pendekatan personal, hingga cara brutal.

"Misalkan penculikan diri sendiri atau anggota keluarga lainnya sebagai upaya untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan," kata Soleman.

Anggota Tim Pengawas DPR ini pun bisa menjadi sasaran intelijen dalam negeri.

Tim Pengawas Intelijen yang sejatinya wakil rakyat akan bersikap terbuka, padahal  sebagai anggota tim pegawas mereka punya wewenang mendengarkan informasi intelijen.

"Dampaknya, anggota DPR itu bisa saja dijadikan kambing hitam atas pembocoran informasi kegiatan atau operasi intelijen. Dengan adanya kambing hitam yang mudah disalahkan, tidak tertutup kemungkinan para personel intelijen sendiri yang membocorkan rahasia itu, dan selanjutnya melemparkan kesalahannya kepada Tim Pengawas Intelijen," kata Soleman.

Soleman menganggap tim itu tidak sesuai dengan prinsip kerja lembaga intelijen yang penuh kerahasiaan dan tak memiliki manfaat apa pun.

Ia menjelaskan, tugas tim pengawas yang dikomandoi Ketua Komisi I Mahfud Siddik itu akan bertentangan dengan prinsip-prinsip intelijen.

Pertama, adalah prinsip di mana dalam dunia intelijen ada posisi yang disebut "agent handler" dan "agent".

"Misalnya dalam ilmu intelijen, Panglima TNI adalah 'agent handler' dari Kabais TNI. Sebagai 'agent', Kabais hanya menerima perintah dan melaporkan hasil pekerjaannya kepada Panglima TNI. Demikian pula Presiden adalah 'agent handlera Kepala BIN di mana Kepala BIN adalah 'agent'-nya," kata Soleman.

Prinsip itu akan bertentangan dengan tugas tim pengawas intelijen yang akan mengawasi dan meminta keterangan kepada Kepala BIN atas operasi dan kegiatan intelijen yang dilakukannya.

Bila dilihat dari prinsip intelijen, kata Soleman, tim pengawas ini akan mengawasi dan meminta keterangan atas perintah atau pekerjaan Kepala BIN atas perintah presiden.

"Sebagai 'agent', Kepala BIN harus patuh dan setia kepada 'agent handler'-nya yaitu presiden, dengan tidak membuka sama sekali perintah presiden yang diberikan kepadanya. Jika Kepala BIN menjelaskan dengan sebenar-benarnya apa yang dilakukan, maka Kepala BIN telah mengkhianati presiden sebagai 'agent handler'-nya," papar Soleman.

Situasi ini justru sangat diinginkan oleh pihak lawan. "Ini merupakan contoh yang sangat jelek bagi personel intelijen Indonesia lainnya," pandang Soleman.

Prinsip kedua dalam intelijen adalah sesuatu yang tidak kelihatan, belum tentu tidak ada, sebaliknya sesuatu yang kelihatannya ada, belum tentu itu bentuknya.

Prinsip ini menjelaskan bahwa seorang person intelijen akan dilatih sedemikian rupa agar selalu dapat menyembunyikan pekerjaan yang sesungguhnya dan awam pasti selalu tertipu.

"Tim pengawas intelijen adalah anggota DPR yang terhormat dan yang tidak boleh dibohongi. Dengan demikian Kepala BIN harus menjelaskan dengan sejelas-jelasnya apa yang dialukannya. Sebagai petugas intelijen profesional, akan sulit bagi KaBIN untuk mengatakan yang sebenarnya," kata Soleman.

"Demikian pula bagi tim pengawas intelijen akan sulit mengamatinya karena yang kelihatan belum tentu itu bentuknya. Jadi yang didapatkan oleh tim pengawas intelijen ini belum tentu benar," sambung Soleman.

Seorang profesional intelijen, menurut Soleman, harus memegang prinsip lainnya yang berbunyi berangkat tugas dianggap mati, hilang tidak dicari, kalah dicaci maki dan menang tidak dipuji'.

Dalam melaksanakan tugasnya, tak jarang personel intelijen terpaksa harus melanggar hukum.

Namun jika terbukti melakukan pelanggaran hukum, maka personel itu harus dihukum karena mereka tidak kebal hukum.

Tak hanya itu, apabila personel intelijen gagal menunaikan tugasnya, dia akan dicaci maki oleh atasannya yang memberi perintah dan juga akan mendapat hukuman karena kegagalan itu.

"Misalkan apabila pekerjaan yang dilakukan oleh Kabais melanggar hukum, maka Panglima TNI akan menyangkalnya dan menyatakan bahwa tidak ada perintah untuk melanggar hukum. Selanjutnya Kabais harus menjalani proses hukum seorang diri, itulah sebabnya seorang personel intelijen harus dapat menjaga dirinya sendiri," ujar Soleman.

Dari sisi ilmu intelijen, keberadaan Tim Pengawas DPR disebut Soleman akan terlihat sebagai upaya lawan untuk mendapatkan informasi melalui jalur resmi.

"Ini akan semakin membuat seorang pejabat Kepala BIN akan tetap setia kepada 'agent handler'-nya dan secara profesional akan sulit baginya untuk mengatakan hal sebenarnya," papar Soleman.

Tim Pengawas Intelijen disahkan Pimpinan DPR dalam sidang paripurna. Tim pengawas ini terdiri dari 14 orang anggota Komisi Pertahanan DPR yang diketuai Mahfudz Siddiq.

Tim pengawas adalah implementasi dari Undang-Undang Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen.

Tim bekerja jika ada dugaan pelanggaran dalam kerja lembaga intelijen. Bahkan, Undang-Undang Intelijen mengatur jika anggota tim pengawas membocorkan rahasia bakal diancam hukuman 10 tahun penjara.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016