Kota Gaza (ANTARA News) - Dengan kalut dan cemas, Jabber Qdieh melihat air hujan yang turun dari balik jendela kecil di mobil karavan yang terbuat dari besi di desa bagian selatan Jalur Gaza, tempat dia dan keluarganya telah menetap lebih dari satu tahun.

Anak lelaki berusia 13 tahun itu khawatir air hujan bocor ke tenda sementara dan keluarganya tak punya tempat untuk melewatkan malam.

Dalam beberapa hari terakhir, hujan lebat mengguyur seluruh wilayah Jalur Gaza yang miskin. Puluhan karavan yang menampung banyak keluarga, termasuk keluarga Odieh yang kehilangan rumah mereka saat agresi Israel ke Jalur Gaza musim panas 2014, terendam air.

Sufian Qdieh, sang ayah, mengatakan kepada Xinhua bahwa ada 12 orang di dalam keluarganya. "Kami telah menghadapi udara yang eksrem selama lima hari berturut-turut. Kami tak bisa menemukan tempat berteduh lain dan lantai telah menjadi kasur kami," kata pria paruh baya tersebut.

Pria itu menghabiskan empat malam berjuang mengatasi air hujan, berusaha sebisanya mencegah banjir memasuki karavan. Pada saat yang sama, ia sangat prihatin dengan keselamatan anak-anaknya.

Itu adalah musim dingin berat kedua yang harus dihadapi Qdieh dan keluarga lain sejak akhir serangan Israel.

Ayah yang tak lagi memiliki pekerjaan itu mengeluhkan lambatnya pembangunan kembali di Jalur Gaza. "Tak seorang pun merasakan sakit atau apa yang kami lalui."

Data resmi Palestina menunjukkan 18.000 unit rumah hancur total selama agresi militer Israel dan lebih dari 30.000 rumah rusak sebagian. Operasi tersebut juga mengakibatkan kehancuran infrastruktur di Jalur Gaza.

Abu Rashed An-Najjar, warga Jalur Gaza di desa yang sama, mengatakan kepada Xinhua bahwa ia telah mengirim anak-anaknya ke kerabat dan temannya di luar desa untuk menghindari risiko banjir.

"Pada musim panas, karavan berubah menjadi kompor panas dan selama musim dingin karavan berubah jadi lemari es berisi air hujan," kata An-Najjar.

"Yang sungguh kami inginkan ialah percepatan rencana pembangunan dan pembangunan kembali rumah kami yang hancur."

Hujan lebat membuat sebagian besar warga Jalur Gaza tinggal di dalam rumah. Sekolah-sekolah diliburkan dan jalan-jalan nyaris kosong dari lalu lintas serta orang.

Selama hari-hari berat musim dingin, mereka tak mempunyai pilihan selain membakar kayu untuk penghangat.

Tim bantuan dan penyelamatan dari beberapa badan amal dan kota praja setempat tak bisa membantu sangat banyak anak dan orang tua yang sangat memerlukan bantuan di daerah kantung pesisir tersebut.

Namun kesulitan mereka lebih dari itu. Pemadaman listrik telah lebih sering terjadi. Pompa air untuk mengeringkan banjir tak bisa beroperasi karena kekurangan bahan bakar.

Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pekerjaan dan Bantuan mengumumkan bahwa organisasi itu telah menyediakan bantuan darurat buat 500 keluarga di Jalur Gaza guna membantu mereka menghadapi cuaca buruk.

Para pejabat senior Palestina menuduh Israel membatasi pengiriman bahan bangunan ke dalam wilayah Jalur Gaza, penyebab utama yang menghambat pembangunan kembali.

Mereka memperingatkan bahwa penundaan lebih lanjut akan membawa lebih banyak penderitaan bagi penduduk.

"Israel mesti menghentikan kebijakan pemberlakuan pembatasan dalam pengiriman bahan bangunan ke Jalur Gaza sebab ini akan menunda rencana pembangunan dan membuat orang tinggal di karavan selamanya," kata Al-Hayek, Ketua Perhimpunan Pengusaha Palestina.

Pada Oktober 2014, tak lama setelah agresi Israel ke Jalur Gaza, donor internasional menjanjikan 5,4 miliar dolar AS untuk Palestina, kebanyakan dialokasikan untuk membangun kembali daerah kantung itu.

Namun menurut para pejabat Palestina, hanya 30 persen dari sumbangan yang dijanjikan yang telah diberikan.

"Sayangnya, rencana pembangunan kembali berjalan sangat lambat akibat kurangnya pendanaan internasional dan lambatnya pengiriman bahan bangunan melalui pos perbatasan yang dikuasai Israel ke Jalur Gaza," kata Menteri Perumahan Palestina Mofid Hasayna.(Uu.C003)

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016