Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah akan melakukan uji coba konsep bisnis agregator yang mampu menghubungkan secara langsung antara pemasok dengan pengguna produk dengan melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) khususnya untuk beberapa jenis komoditas tertentu.

"Kita mau mencoba untuk menggunakan satu atau dua BUMN untuk masuk pada bidang tertentu dan akan saya coba untuk soft komoditi seperti pala, gambir, mungkin kayu putih dan kelapa," kata Menteri Perdagangan Thomas Lembong, di Jakarta, baru baru ini.

Thomas mengatakan, skema awal yang akan dilakukan untuk memulai konsep bisnis agregator tersebut adalah untuk meraih kembali nilai tambah khususnya pada sektor jasa dari komoditas tersebut yang saat ini dikuasai oleh negara seperti Thailand, Filipina dan India.

Menurut Thomas, komoditas asal Indonesia tersebut dibeli dari para petani dan negara-negara itu yang memberikan jaminan mutu, menjamin volume dan juga konsistensi produk yang justru memberikan nilai tambah jauh lebih tinggi ketimbang dari hasil pertaniannya itu sendiri.

"Kelapa kita dibeli oleh perdagangan Thailand, mereka yang mengolah, menyortir, mengemas, menjamin mutu dan konsistensi. Itu yang membuat nilai tambah tinggi," kata Thomas.

Thomas yang kerap disapa Tom itu menjelaskan bahwa memang dengan langkah uji coba yang melibatkan BUMN tersebut akan menghadapi banyak tantangan.

Namun, pemerintah akan terus membantu, dan dirinya meyakini bahwa dalam waktu 10 tahun ke depan BUMN Indonesia akan mampu menjadi semakin baik.

"Dengan terobosan besar dari Presiden Joko Widodo, saya yakin budaya dan kinerja BUMN akan semakin membaik dalam 10 tahun ke depan. Namun juga pihak swasta diharapkan berpartisipasi dan terlibat sejauh mungkin," kata Tom.

Menurut Tom, salah satu sektor yang juga mampu memiliki peran besar sebagai bisnis agregator adalah e-commerce. Dari jaringan online tersebut bisa menghadirkan market place yang menjadi wadah untuk mempertemukan antara para penjual dan pembeli secara langsung dengan memberikan jalan pintas tanpa ada perantara yang banyak.

Dengan memasukkan sektor e-commerce sebagai salah satu agregator, lanjut Tom, maka jika skema tersebut bisa berjalan, para petani bisa memanfaatkan sosial media untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan khususnya mengenai pola dagang dan struktur pasar.

"Saat ini balai tani dan penyuluhan hilang dari sistem, mungkin harus ada penggantinya dan perlu memanfaatkan sosial media. Tidak perlu lagi berkumpul satu atau tiga bulan sekali dan diberikan ceramah, itu sudah bukan jamannya lagi," kata Tom.

Nantinya, ujar Tom, dalam pemanfaatan media sosial seperti grup obrolan Facebook, selain para petani tersebut bisa bertukar informasi, Dinas Perdagangan daerah juga harus masuk dalam grup tersebut dan memberikan penjelasan kepada para petani khususnya terkait dengan pola dagang dan juga struktur pasar.

Konsep agregator yang masih dalam proses itu, nantinya direncanakan mampu memunculkan pemain-pemain baru sebagai pelaku usaha dan mampu memberikan pilihan yang kompetitif kepada masyarakat.

Selain itu juga diharapkan mampu memutus mata rantai pasokan yang panjang.

Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016