Brussels (ANTARA News) - Setidaknya 2.297 wartawan dan pekerja media terbunuh dalam kurun waktu 25 tahun, dengan Irak menjadi negara paling mematikan, kata Federasi Wartawan Internasional (IFJ) pada Rabu waktu setempat.

Menurut AFP, para jurnalis kehilangan nyawa mereka saat menjadi target pembunuhan, serangan bom, baku tembak dan penculikan dalam perang dan konflik bersenjata di seluruh dunia, sementara yang lain dibunuh oleh kejaharan terorganisasi para baron dan pejabat korup, kata IFJ.

Sebanyak 112 wartawan dan profesional media terbuhuh pada tahun lalu saja, meskipun puncaknya terjadi pada 2006 dengan memakan korban 155 jiwa, kata IFJ.

"Setidaknya 2.297 wartawan dan pekerja media terbunuh sejak 1990," kata laporan itu.

"Laporan tahunan ini lebih dari sekedar mencatat teman-teman yang terbunuh," kata Boumelha.

"Laporan ini juga menggambarkan penghormatan untuk keberanian dan pengorbanan yang dibayar oleh wartawan dengan mempertaruhkan nyawa untuk memberikan informasi dan memberdayakan publik," tambah dia.

Negara yang mencatat jumlah pembunuhan wartawan tertinggi adalah: Irak (309), Filipinan (146), Meksiko (120),Pakistan (115), Federasi Rusia (109), Algeria (106), India (95), Somalia (75), Suriah (67) dan Brazil (62).

Pada 2015, 10 wartawan dan pegawai tewas di Prancis ketika ekstrimis menyerang mingguan satir Charlie Hebdo di Paris, yang menjadikan Prancis menjadi tempat teratas pembunuhan pekerja media bersama Irak dan Yaman pada tahun lalu.

Sejak 1990, kawasan Asia Pasifik terdaftar sebagai tempat korban tewas tertinggi dengan angka 571, diikuti oleh Timur Tengah dengan 473 pembunuhan, Amerika dengan 472 pembunuhan, Afrika dengan 424 pembunuhan, dan Eropa dengan 357 jiwa meninggal.

IFJ menyeru pejabat pemerintahan, keamanan, angkatan militer dan lainnya yang berurusan dengan mereka untuk menghormati kebebasan wartawan.

Mereka mendesak "pemerintah untuk patuh dengan kewajiban internasional mereka dengan menelusuri pembunuhan wartawan dan membawa mereka yang bertanggungjawab ke pengadilan, sehingga mencegah kekerasan pada masa selanjutnya."

(A074/G003)

Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016