"Kamu akan memerlukan ini, di sana sangat dingin," kata Carmen Carreno seraya mengulurkan sepasang sarung tangan wool pada Minggu pagi pukul 03.00 di akhir bulan September.

Ketika Kota Bucaramanga di Kolombia masih tidur, Carmen yang sudah siap dengan perlengkapan hikingnya bergegas menuju taman kota Parque San Pio untuk berkumpul dengan para peserta pendakian menuju Paramo de Santurban.

Di antara cahaya temaram lampu taman, mereka berkumpul di sekitar patung La Gorda karya seniman ternama Kolombia Fernando Botero sebelum berangkat menggunakan bus dari ibu kota Departemen Santander.

Komunitas pecinta jalan kaki Caminantes de Santander memandu mereka. Tujuan utamanya, laguna Pajarito, Las Calles dan Surcura di ekosistem tundra alpina di rangkaian pegunungan Andes.

Di wilayah tropis Amerika Selatan di Ekuador, Kolombia dan Venezuela, ada vegetasi yang tumbuh di ekosistem yang berada di antara garis batas atas pohon atau kanopi hutan dan garis batas salju abadi atau sekitar 3.000 sampai 4.700 meter di atas permiukaan laut.

Ekosistem semacam itu disebut paramo. Dan Paramo Santurban adalah satu dari beberapa koridor paramo yang berada di Kolombia.

Terletak di Departemen Santander, dengan 26 laguna tersebar di area konservasi seluas 11.700 hektare, Paramo de Santurban adalah pabrik alami air bersih, sumber kehidupan bagi dua setengah juta penduduk Santander di sekitarnya.

"Kami sangat bergantung kepadanya. Kami sadar kami harus melindungi tempat ini, terutama air yang disediakan tempat ini untuk kami," kata Maria Caro, seorang warga Bucaramanga.


Memulai dari Vetas

Setelah tiga jam perjalanan menggunakan bus, Carmen dan rombongannya tiba di pemberhentian pertama, kota kecil bernama Vetas.

Kota tertinggi di Kolombia yang di bertengger di ketinggian 3.350 meter di atas permukaan laut tersebut masih dingin meski matahari bersinar terang pagi itu.

Rumah-rumah di kota yang dibangun oleh bangsa Eropa tahun 1555 itu bertembok tanah liat bercat putih dengan atap genteng coklat serta jendela dan pintu kayu berpahat.

Orang-orang yang hendak melakukan pendakian biasa berhenti di Vetas untuk melakukan aklimatisasi, menyesuaikan tubuh dengan kondisi alam pegunungan, serta mengisi perut, antara lain dengan semangkuk sup kentang dan telur setengah matang atau kaldu daging, serta segelas coklat panas untuk menghangatkan tubuh.

"Rata-rata suhu di sini 10 derajat Celcius, namun pada malam hari bisa turun hingga nol derajat," kata sang pelayan rumah makan sembari membagikan potongan keju putih.

Vetas punya paramo seluas 5.589 hektare dari total 11.700 hektare kawasan konservasi taman nasional Santurban. Separuh wilayah yang lainnya ada di Kota Surata (4.955 hektare) dan California (1.156 hektare).

Kawasan paramo Vetas-Surata-California merupakan salah satu wilayah yang kaya emas di Kolombia dam selama hampir setengah abad penduduk setempat menambangnya selain petani.


Laguna dan Frailejon

Setelah selesai sarapan, pendakian dimulai.

Pagi itu cukup cerah. Langit biru dan berawan. Padang rumput nan hijau membentang luas sejauh mata memandang setelah meninggalkan Vetas.

Rangkaian pegunungan dari batuan masif berwarna abu-abu, hitam dan sedikit keunguan diam di cakrawala sementara bus mengantarkan rombongan melewati jalan tak beraspal hingga titik terjauh yang bisa dicapai kendaraan.

Dari sana, mereka berjalan menyusuri jalur berbatu, kadang melewati sungai-sungai kecil berair jernih dan sangat dingin.

Sebuah laguna berbentuk bulat sempurna menyapa para pendaki di sepanjang kilometer pertama.

Laguna Pajarito namanya. Kurang lebih seluas lapangan bola, berada di tengah lembah yang dikelilingi oleh padang rumput dan bukit berbatu.

Dari kejauhan, air danau itu memantulkan warna hitam, lebih gelap dari warna batu gunung yang ada di sekitarnya, bagai lubang tanpa dasar.

Para pendaki pun menyempatkan diri berfoto dengan latar danau itu dari sisi tebing yang ditumbuhi berbagai vegetasi khas ekosistem paramo.

"Ini adalah frailejon," terang Maria sembari menunjuk suatu tanaman berwarna hijau pucat.

Tak ada tanaman lain yang mencolok penampilannya seperti frailejon di ekosistem paramo.

Tanaman yang tumbuh hanya satu centimeter per tahun itu berasal dari genus Espeletia, dan merupakan kerabat dekat bunga matahari dan aster.

Yang membedakan frailejon dengan tumbuhan lain adalah daun-daunnya tumbuh di pucuk batang menyerupai bentuk bunga yang besar.

Saat batangnya tumbuh, daun-daun baru muncul sementara yang tua mengering namun tidak berguguran sehingga membentuk kelopak daun kering yang melindungi batang.

Beberapa spesies frailejon tumbuh rendah, sebagian lagi bisa tumbuh menjulang.

Daunnya memanjang, langsing, tebal dan dilapisi bulu-bulu halus untuk melindunginya dari terpaan angin dingin paramo.

Dari titik pusat tumbuhnya daun, tangkai-tangkai bunga tumbuh ke atas membawa bunga-bunga berwarna kuning atau putih yang menunduk di pucuknya.

Sementara Laguna Pajarito tampak semakin kecil seiring kaki melangkah menjauh, jalanan yang menanjak dan bebatuan tempat berpijak yang licin sudah menyiksa kaki meski medan belum terlalu curam.

Setelah satu jam melalui jalan menanjak, beberapa pendaki duduk-duduk di atas bongkahan batu setinggi rumah tiga lantai, sebagian lainnya berfoto sendiri.

"Kita telah sampai di ketinggian 3.657 mdpl," kata Carlos Diaz, salah satu pemandu.

Itu lah titik pemberhentian kedua, tempat laguna Las Calles yang tersembunyi di balik tebing batu di sebelah kanan jalur pendakian bisa terlihat.

Las Calles panjang dan terlindung di antara formasi batuan purba paramo, lebih luas dari Pajarito.

Dari kejauhan, permukaannya yang tenang terlihat seperti danau beku yang memantulkan langit pagi yang cerah. Dari tepi Las Calles, semilir angin bertiup di atas permukaan danau.

Tak seorang pun bicara. Yang terdengar hanya lah kesunyian, terkadang gemercik air ketika seekor ikan menyembul ke permukaan danau. Kemudian awan terbelah di langit, matahari bersinar menerangi laguna berair jernih itu.

Namun cuaca di paramo tak terduga. Tak lama setelahnya, kabut putih mulai turun menyelimuti gunung dan mengaburkan jalan setapak di depan.

"Perjalanan ke atas masih jauh, jika tidak sanggup melanjutkan, lebih baik turun dan mengikuti jalan setapak ini untuk kembali ke bus," kata seorang pemandu.


Ribuan Frailejon


Jalur pendakian selanjutnya tak hanya tebing curam dan licin, namun juga tanah basah dan berlumpur.

Bagaikan masuk ke dunia imajinasi novelis J.R.R Tolkien, para pendaki melewati tebing berkabut, vegetasi asing beranting kering, serta ladang yang ditumbuhi ribuan frailejon.

Seiring kaki melangkah naik, nafas semakin berat, tak hanya karena curamnya medan, namun juga karena oksigen yang semakin menipis, menuntut kewaspadaan dan stamina ekstra setiap pendaki.

Laguna Las Calles pun sudah hilang dari pandangan sementara tampak Carmen jauh di depan, hanya warna hijau sweaternya yang masih terlihat samar di balik kabut dan vegetasi yang semakin jarang di atas.

Beberapa laguna bisa terlihat dari jalur pendakian menuju puncak, namun akses jalan yang terbatas tidak memungkinkan pendaki menuju ke sana.


Alto del Viejo

Sebuah mimbar kecil dengan patung perawan yang dikelilingi oleh salib dari kayu menyambut para pendaki di gerbang Alto del Viejo, puncak tertinggi Paramo de Santurban yang berada 3.937 meter di atas permukaan laut.

Sejauh mata memandang yang terlihat adalah formasi pegunungan Andes yang tak jelas ujung dan pangkalnya.

Para pendaki sejenak duduk menikmati udara segar sambil menikmati panorama pegunungan terpanjang di dunia yang membentang dari Chile di ujung selatan hingga Venezuela di bagian utara Amerika Selatan itu.

Sepasang burung aguila, istilah setempat untuk elang, melengkapi pemandangan langit Andes yang sedang kelabu.

Para pendaki kemudian melanjutkan perjalanan, berusaha bergerak melawan udara dingin. Bersama beberapa pendaki yang lain, Riky Ramadani, mahasiswa asal Indonesia, menuju ke Laguna Surcura, sementara Carmen dan Maria memutuskan untuk turun.

"Laguna Surcura adalah yang tercantik di antara ketiganya," kata Riky membagi pengalamannya setelah sempat tersesat ketika menuju Surcura, sekitar enam kilometer dari Vetas.

"Yang paling berkesan adalah vegetasinya. Indonesia juga punya paramo, adanya di Papua. Saya belum pernah ke sana karena akses transportasi masih susah dan mahal," kata Riky, yang mengakhiri perjalanan ke tiga laguna di Paramo Santurban dengan acara makan siang pada pukul 16.00 di Vetas.

Sementara Maria menggambarkan keindahan paramo hanya dengan satu kata: magis.

Paramo Santurban yang keindahannya magis menjadi perdebatan panjang tanpa akhir ketika sejumlah perusahaan tambang multinasional ingin mengeruk kandungan emasnya.

Di satu sisi pemerintah ingin memanfaatkan kekayaan mineral di sana atas nama pembangunan, namun itu akan membawa kerusakan lingkungan sangat besar di paramo.

Eksploitasi mineral skala besar ditakutkan merusak ekosistem paramo, laguna-lagunanya, dan tatanan air tanah di bawahnya.

"Pengaruh pemanasan global, ditambah ketidaksadaran melestarikan bumi demi uang dari penawar tertinggi, sedikit demi sedikit kita merampas kehidupan generasi penerus kita," kata Maria.

Oleh Aditya E.S. Wicaksono
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016