Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terancam kehilangan jaksa penuntut umum karena penerapan Undang-undang No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Dalam UU No. 5 tahun tahun 2014 bahkan tidak ada mekanisme untuk menempatkan jaksa di lembaga lain, yang ada hanya pengaturan untuk TNI dan Polri saja, kata Kepala Bidang Penyelenggara pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) Kejaksaan Agung Yudi Kristiana di Badiklat Kejaksaan.

"Jadi tidak ada penempatan jaksa di KPK, padahal kewenangan pentuntutan melekat kepada jaksa, dengan sendirinya KPK tidak akan bisa menuntut tanpa jaksa, UU ini akan gaduh bila sudah diberlakukan," ucapnya di Jakarta, Jumat.

Yudi yang pernah menjadi jaksa yang diperbantukan di KPK selama sekitar empat tahun itu berbicara dalam Diskusi Bulanan Persatuan Jaksa Indonesia (PJI)-Badiklat di Badiklat Ragunan bersama dengan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Timur Narendra Jatna.

"Aneh kalau aparat penegak hukum lain seperti polisi, hakim yang juga pegawai negeri sipil tidak masuk sebagai ASN, tapi kenapa jaksa masuk?" tambah Yudi, mempertanyakan.

Menurut Yudi, UU ASN tersebut tidak mengakomodasi kekhususan para aparat sipil negara yang punya karakteristik tertentu, tapi lebih melihat menyatukan model pembinaan kepegawaian.

"UU ini tidak memperhatikan organisasi yang punya kewenangan tertentu, contohnya tidak ada yang mengatur kewenangan lembaga di bidang pendidikan seperti dosen, akan berbeda dengan pembinaan lembaga yang kewenangannya untuk mencari uang seperti Dirjen Pajak dan tentu berbeda dengan lembaga penegak hukum," jelas Yudi.

UU No. 5 tahun 2014 menyebutkan bahwa ASN adalah pegawai negeri sipil, dan berdasarkan UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, jaksa adalah PNS, sehingga jaksa masuk dalam ASN.

Selanjutnya dalam UU tersebut, tidak ada aturan pengecualian mengenai profesi jaksa selain untuk prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (pasa 20).

"Kalau lembaga penegak hukum seperti jaksa meneliti berkas penyidikan dari kepolisian dan dikembalikan ke kepolisian maka hasilnya dinilai nol dan dianggap tidak bekerja padahal output kejaksaan adalah keadilan yang tidak selamanya bisa terukur, misalnya, ekspose perkara harus dihentikan dan ada yang harus dikembalikan lagi, itu tetap terhitung sebagai kinerja, sedangkan parameter yang dipakai dalam ASN bersifat linear yang tidak mengakomodasi kekhususan lembaga kejaksaan," ungkap Yudi.

Sehingga menurut Yudi, kejaksaan sendiri harus membuat terobosan payung hukum untuk mengatasi masalah ini.

"Perlu ada terobosan bahwa kejaksaan tidak usah masuk ASN seperti membuat payung hukum misalnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau bahkan mengajukan RUU Kejasaan yang tegas menempatkan kejaksaan sebagai lembaga yang berdiri sendiri yang tidak tunduk pada ASN," tutur Yudi.

Sedangkan Kajari Jakarta Timur Narendra Jatna mengatakan juga mendukung adanya strategi jangka pendek, menengah dan panjang dari kejaksaan menjelang penerapan UU ini.

"Solusi jangka pendek adalah melakukan telaah ilmiah dan merancang prepres pengecualian jaksa dalam ASN, untuk jangka menengah adalah melakukan perubahan dalam UU Kejaksaan terkait status kepegawaian jaksa, sehingga jangan disebut pegawai negeri sipil dan untuk jangka panjang perlu ada penguatan dalam konstitusi. Bila polisi, Mahkamah Konstitusi dan bahkan Komisi Yudisial ada di konstitusi, mengapa kejaksaan tidak ada?" kata Narendra.

Menurut Naredra, profesi jaksa bahkan bukan hanya sebagai penegak hukum melainkan jurist (ahli hukum).

"Jaksa bukan law enforcement, melainkan jurist, yaitu lawyer yang disewa oleh negara. Jadi bila berkas sudah P21 (berkas penyidikan lengkap) juga tidak wajib sidang karena P21 itu administratif, karena tujuannya adalah keadilan," ungkap Narendra.

"Tapi memang kalau bukan KPK yang terancam tidak ada yang peduli, jadi Kejaksaan sendiri juga yang harus berjuang sendiri," tambah Narendra.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016