"Jangan Bawa Pulang HIV" merupakan novel advokasi bagi mereka yang menjadi korban dalam masalah kesehatan, khususnya soal penyebaran virus HIV dan penyakit Aids.

Ada tiga perempuan yang menjadi tokoh utama dalam novel kedua karya Ramdani Sirait tersebut, yaitu Gayatri, Lusiana, dan Anissa. Lewat kisah kehidupan tiga sekawan itu, Dani, nama akrab Ramdani, melancarkan kampanye tentang pencegahan penularan virus HIV.

Kisah tiga wanita itu menjadi jalan bagi penulis yang pernah menjadi wartawan Antara di New York itu memperlihatkan bahwa banyak perempuan yang terinfeksi virus HIV dari suaminya, virus yang akan terus menggerogoti tubuh para perempuan tersebut hingga akhir hayatnya.

Gayatri mendapat virus dari suaminya yang merupakan seorang lelaki yang sering berdinas dan bepergian jauh dari rumah.

Dia merupakan satu dari sekian banyak perempuan yang tertular virus HIV dari suaminya, yang rupanya sering "jajan" ketika berpergian. Kebiasaan yang tentu saja tak diketahui sang istri.

Dalam novel digambarkan dengan tragis bahwa Gayatri mengetahui bahwa dirinya terinveksi virus HIV justru ketika sang suami telah meninggal.

Sang dokter yang merawat suami Gayatri hingga kematiannya lah yang tiba-tiba meminta Gayatri mengikuti tes HIV.

Hasil tes membuat perubahan besar dalam kehidupan perempuan yang digambarkan sebagai seorang sarjana yang mengabdikan dirinya sebagai ibu rumah tangga itu.

Permintaan dokter itu merupakan pembuka tabir yang selama ini menghalangi pandangan Gayatri mengenai sosok suaminya.

Lelaki semacam itu pula, dan lelaki pada umumnya, demikian novel itu beradvokasi, yang semestinya mendapatkan pendidikan tentang penyakit menular seksual.

Para lelaki mesti mendapat pendidikan tentang penyakit itu agar posisi wanita tidak menjadi serba salah.
Masalahnya, kalau pun wanita telah mendapatkan pendidikan mengenai penyakit menular seksual, dia tidak leluasa untuk bertanya tentang kesehatan seksual suaminya. Dia juga tak mungkin meminta sang suami memakai kondom meskipun sudah ada kecurigaan.

Mungkinkah sang istri bisa bertanya, "Sayang. Kamu sehat-sehat aja kan selama ini?"

Dalam novel terbitan Yayasan Lentera Anak Negeri Indonesia (November 2015) itu juga dipaparkan angka-angka statistik soal penderita HIV. Juga jenis penyakit menular seksual.

Advokasi utama novel ini adalah : bawakan saja cinderamata dan sisakan uang saku sebanyak mungkin untuk orang rumah, jangan ada  "oleh-oleh" yang tidak diharapkan terbawa ke rumah begitu sang suami pulang dari berdinas. 

Jangan habiskan uang saku untuk mereka yang berhak, yaitu para perempuan yang digambarkan sebagai "berhak tinggi", seperti meme dalam media sosial.

Walau temanya adalah tentang wanita yang dikhianati pasangan hingga tertular virus HIV, novel "Jangan Bawa Pulang HIV" bukan cerita tentang patah semangat.

Justru ada semangat berbagi dari korban agar tidak semakin banyak wanita setia yang tertular HIV. Itu digambarkan lewat Gayatri yang menjadi aktivis hingga ke kantor PBB.

Korban tidak menjadi orang yang patah semangat karena ada obat, ARV, yang bisa mengamankan agar sel darah putih tidak dilahap habis virus HIV sehingga penyakit aids bisa dicegah.

Juga digambarkan bahwa ada obat lain yang perlu didapat para pengidap virus HIV agar mereka tegar menghadapi kenyataan, yaitu orang-orang terkasih.

Ibu sebagai tempat bersandar menjadi kunci utama bagi mereka, seperti yang didapat Gayatri dan Anissa, kawan karib yang juga tertular HIV dari sang suami. Mereka juga memiliki kawan karib yang menjadi tempat berbagi, yaitu Lusiana.

Anissa digambarkan mendapatkan kenyataan lebih pahit karena sang suami ternyata seorang homoseksual yang menikahinya sekadar status di masyarakat.

Dia sempat melarikan diri ke kampung halaman meninggalkan dua sahabatnya untuk menenangkan diri di sisi ibu.

Kisah tentang tiga sahabat yang bersentuhan dengan virus HIV itu kemudian bercerita banyak lewat dialog mereka, tentang bisnis prostitusi, tentang HAM, tentang lokalisasi, dan tentang hubungan sesama jenis.

Novel berdasarkan kisah nyata ini juga memperlihatkan bahwa pencegahan agar jangan sampai terinfeksi HIV merupakan kegiatan yang utama. Tapi, ketika virus itu sudah menginfeksi tubuh bukanlah berarti semua telah berakhir.

Oleh Sapto HP
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016