Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie kembali mengungkapkan kehendak Partai Golkar untuk mewujudkan penyempurnaan sistem ketatanegaraan Indonesia melalui amendemen UUD Negara RI Tahun 1945.

Penegasan sikap partai berlambang beringin ini dikemukakan Ical, sapaan akrab Aburizal Bakrie, saat menyampaikan pidato politiknya dalam Rapimnas Partai Golkar di Jakarta Convention Center (JCC), belum lama ini.

Melalui forum Rapimnas tersebut, Partai Golkar menyuarakan betapa pentingnya reformasi lebih lanjut dari sistem ketatanegaraan yang tentunya akan bermuara pada perubahan UUD Negara RI Tahun 1945.

"Partai Golkar ingin menyempurnakan konstitusi agar menjadi instrumen utama pencapaian tujuan besar kita. Kita tahu bahwa dalam UUD 1945 yang telah terjadi perubahan demi perubahan itu kita mengetahui bahwa batang tubuh UUD 1945 tidak lagi sesuai dengan mukadimah dari UUD 1945 itu sendiri," demikian Aburizal Bakrie mengatakan.

Banyak hal penting yang akhirnya dirumuskan Partai Golkar dalam forum Rapimnas dan selanjutnya dituangkan ke dalam butir-butir rekomendasi, di antaranya mereposisi dukungan partai dari di luar pemerintah menjadi pendukung pemerintah, menyelenggarakan Munaslub dan mendorong amendemen kelima UUD Negara RI Tahun 1945, terkait reformasi sistem ketatanegaraan dan GBHN.

Sejatinya Partai Golkar sudah cukup intensif menyuarakan gagasannya menghidupkan kembali GBHN sebagai "blue print" sistem pembangunan nasional ini dan bahkan telah menuangkannya ke dalam dokumen Visi Indonesia 2045.

Amendemen Terbatas
Saat ini berkembang kuat wacana untuk melakukan amendemen konstitusi secara terbatas. Bak gayung bersambut, wacana yang terlontar ke publik ini pun mendapat respons beragam di masyarakat, baik yang pro maupun kontra.

Dalam perkembangan wacana amendemen terbatas ini, beberapa pihak memandang bahwa perubahan konstitusi seharusnya dilakukan secara komprehensif karena telah mengait pada perubahan sistem ketatanegaraan secara luas.

Untuk menelaah wacana amendemen konstitusi, khususnya yang berkaitan dengan GBHN, maka seyogyanya perlu melongok sejenak pada konteks kesejarahan dan kronologisnya tatkala GBHN tersebut masih diberlakukan.

Pada Bab I Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum dilakukannya amendemen dinyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam konteks ini MPR dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan rakyat.

Struktur MPR juga bisa dianggap mewakili rakyat karena mewadahi pula unsur utusan-utusan daerah dan golongan, melengkapi anggota DPR yang merangkap pula sebagai anggota Majelis.

Sebagai lembaga tertinggi negara, MPR kala itu mempunyai kewenangan untuk menetapkan UUD dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (Pasal 3). Konsep semacam ini dikenal sebagai demokrasi institusional.

Namun setelah dilakukannya amendemen tahap ketiga UUD 1945, Pasal 1 ayat (2) menjadi berbunyi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Artinya, yang menjadi haluan negara pada saat ini adalah konstitusi atau Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.

Demokrasi semacam ini disebut sebagai demokrasi konstitusional dan lazim diterapkan di banyak negara diseluruh dunia.

Implikasi penerapan model demokrasi modern semacam ini adalah adanya Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang dituangkan dalam undang-undang dan disusun bersama antara DPR dengan pemerintah.

Komparasi GBHN-RPJP
Pada masa lalu, GBHN merupakan bagian dari produk politik hukum. Namun secara politis, GBHN difungsikan pula sebagai sarana kontrol sosial untuk pemerintahan.

Pascapenghapusan GBHN, agenda rencana pembangunan nasional ditentukan lewat UU dan RPJP Nasional dimana rencana lima tahun (RPJM) ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres). Konsekuensinya, bila kinerja pemerintah tidak sesuai dengan rencana pembangunan, maka tidak ada sanksi yuridis yang jelas karena secara politis RPJM Nasional merupakan produk presiden.

Ada perbedaan antara GBHN dengan RPJP Nasional itu, di antaranya GBHN berstatus sebagai TAP MPR karena diproduk oleh MPR yang saat itu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, sementara RPJPN berstatus sebagai UU karena diproduk oleh DPR bersama Presiden. Secara hukum, kedudukan GBHN lebih kuat dibanding RPJPN.

RPJPN itu sendiri bersifat 20 tahunan. Sementara RPJPN yang dijalankan pada saat ini, berdasarkan UU No 17/2007 berlaku untuk kurun waktu 2005-2025.

Sementara itu, apabila saat ini muncul gagasan untuk menghidupkan kembali GBHN yang disusun dan ditetapkan MPR melalui amendemen konstitusi, maka sejatinya ada prasyarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu sesuai Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945.

Usul perubahan pasal-pasal UUD ini dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota majelis dan selanjutnya usul perubahan pasal-pasal UUD yang diajukan secara tertulis dan dicantumkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya tersebut harus disetujui oleh 2/3 jumlah anggota Majelis.

Mungkin jika sistem politik nasional hanya terdiri dari dua atau tiga parpol saja seperti dimasa orde baru, maka persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945 bisa dengan mudah terpenuhi, yang bisa dilakukan dengan menetapkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold).

Namun realitanya dalam situasi dan kondisi perpolitikan nasional yang terdiri dari multipartai, masih menjadi pertanyaan apakah konsensus nasional bisa dengan mudah dicapai untuk memuluskan amendemen konstitusi itu?

Syaratnya soliditas koalisi pemerintah dan koalisi non pemerintahan ini benar-benar kokoh dan terjalin dalam satu ikatan koalisi yang permanen di parlemen dari tingkat pusat hingga daerah-daerah seluruh Indonesia.

Fenomena politik mutakhir yang sedemikian cair dan dinamis itu menandakan bahwa adagium "tidak ada lawan atau kawan abadi dalam politik, yang abadi adalah kepentingan" semakin tak terbantahkan. Kepentingan politik masing-masing pihak menjadi landasan utama sebelum mengambil langkah-langkah konsolidasi lebih lanjut.

Berkaca pada sedemikian cair dan dinamisnya konstelasi politik nasional ini, maka dibutuhkan kerja keras dan komitmen besar diantara elemen-elemen perpolitikan nasional untuk merajut kesamaan sikap dan pemahaman sebelum beranjak mewujudkan gagasan amendemen terbatas konstitusi.

*) Penulis adalah Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI

Oleh Hardisoesilo *)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016