Yangon, Myanmar (ANTARA News) - Lebih dari 3.000 orang meninggalkan rumah mereka di bagian utara Myanmar menyusul bentrokan antara dua kelompok etnis pemberontak menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Selasa.

Pertempuran berat yang terjadi di Shan meletus pekan lalu antara Dewan Restorasi Negara Bagian Shan (Restoration Council for Shan State/RCSS) dan Pasukan Pembebasan Nasional Taang (Ta'ang National Liberation Army/TNLA).

Itu merupakan kejadian yang langka di mana sejumlah kelompok etnis bersenjata negara itu saling serang satu sama lain dan terjadi pada saat peralihan kekuasaan yang rumit dari pemerintahan yang didukung militer kepada partai pro-demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi.

"Kami mendapat laporan bahwa lebih dari 3.000 orang mengungsi pekan lalu," ujar Mark Cutts, Pemimpin Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB di negara itu.

Dia mengatakan sebagian besar orang yang mengungsi saat ini ditampung di sejumlah biara di kota Kyaukme dan menerima bantuan dari kelompok-kelompok lokal dan dari Palang Merah Myanmar.

Anggota parlemen majelis rendah Kyaukme, Sai Tun Aung, mengatakan penduduk setempat telah melapor kepadanya bahwa para guru dan pelajar melarikan diri dengan berjalan kaki untuk menghindari penangkapan, pembunuhan dan pembakaran yang dilakukan oleh kelompok bersenjata yang berkeliaran di sekitar wilayah itu.

Dia tidak memberikan penjelasan mengenai kelompok bertanggung jawab.

Pemerintah Myanmar dalam beberapa tahun terakhir sudah berusaha mengakhiri perang saudara yang telah berlangsung puluhan tahun antara militer dan sejumlah kelompok etnis bersenjata yang bersitegang untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar.

Pemerintahan yang akan turun dari jabatannya menandatangani sebuah perjanjian damai dengan sejumlah kelompok besar termasuk RCSS akhir tahun lalu.

Namun usaha-usaha untuk menandatangani perjanjian damai nasional gagal setelah pemerintah menolak mengikutsertakan beberapa kelompok yang sedang berkonflik dengan militer, temasuk TNLA.

Masih belum jelas apa yang memicu konflik terbaru antara RCSS dengan TNLA. Namun kurangnya partisipasi penuh dalam perjanjian damai telah memicu kekhawatiran bahwa kelompok-kelompok pemberontak dapat mulai bersaing satu sama lain untuk memperebutkan wilayah.

Pertemuan damai dengan sejumlah kelompok etnis bersenjata telah diadakan oleh pemerintahan kuasi-sipil yang menggantikan kekuasaan militer pada 2011.

Mereka dikalahkan oleh partai Liga Demokrasi Nasional (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi pada pemilihan umum November lalu.

Bulan lalu kelompok-kelompok etnis minoritas menyambut baik usaha-usaha perdamaian pemerintahan yang akan menyelesaikan tugasnya dalam sebuah konferensi di ibu kota, Naypyidaw, namun menyatakan tugas sulit dalam memberlakukan kesepakatan itu berada di tangan partai Suu Kyi, yang akan membentuk pemerintahan pada April.

Hambatan-hambatan signifikan menghadang proses itu, termasuk konflik yang masih berlangsung dan ketegangan hubungan Suu Kyi dengan militer yang masih memiliki pengaruh besar, yang menggenggam kunci untuk perdamaian, demikian seperti dilansir kantor berita AFP. (Uu.Ian/KR-MBR)

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016