Jurnalis yang cermat sedikitnya punya dua perhatian utama ketika menulis sebuah berita, entah berita kilat lempang, maupun berita investigatif berkedalaman.

Dua hal yang perlu dicermati itu adalah akurasi dalam menulis fakta dan ketepatan dalam memilih diksi untuk makna yang dikehendaki.

Nyatanya, tak banyak jurnalis yang mempunyai kecermatan pada dua hal itu sekaligus. Kekurangan atas salah satu hal itu, misalnya kekurangtepatan dalam berbahasa jurnalistik, bisa diatasi dengan mempekerjakan seorang penyunting bahasa.

Faktanya, sebagian besar wartawan bukanlah sarjana yang pernah belajar bahasa, dalam hal ini bahasa Indonesia secara khusus. Pengetahuan bahasa jurnalistik biasanya diperoleh secara singkat dalam kursus atau pelatihan jurnalistik saat mereka menekuni dunia kewartawanan.

Wartawan yang menulis berita-berita ekonomi atau olahraga, yang biasanya berlatar pendidikan bukan dari disiplin linguistik, sering abai terhadap beberapa aturan dasar ilmu bahasa sehingga kesalahan dalam menempatkan kelas kata yang pas dalam sebuah kalimat acap terjadi.

Kesalahan demikian bukan cuma dilakukan oleh wartawan yang bekerja di organisasi atau perusahaan media massa kelas dua di daerah, tapi juga media massa terkemuka di Ibu Kota.

Berikut ini contoh yang diambil dari Harian Kompas pada edisi 22 Januari 2016, pada berita berjudul Real Madrid Tetap Terkaya, yang memperlihatkan pengabaian pada akurasi dalam menggunakan kata yang sesuai dengan kelasnya saat merumuskan kalimat: "Penggemar Madrid yang lebih dari 80 juta orang di seluruh dunia mendongkrak pemasukan dari komersial."

Kelas kata "komersial" tentulah ajektiva yang dalam posisi di kalimat itu harus didahului dengan nomina, misalnya "segi" atau "aspek" agar struktur kalimat itu gramatikal.

Contoh lain yang mengalami kekeliruan serupa terdapat pada media massa yang sama yang terbit pada hari yang sama untuk judul berita Pelambatan Tiongkok Berlanjut. Pada alinea terakhir tertera kalimat berikut: "Menurut Haryo, dengan kondisi perekonomian global yang mencari normal baru dan pelambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata 5,5-6 persen per tahun."

Dalam kalimat yang juga merupakan alinea itu, frasa "mencari normal baru" jelas tak gramatikal. Ajektiva itu harus dinominakan menjadi "normalitas" untuk menjadikan kalimat itu bermakna dan gramatikal.

Sebagai media yang terbit dengan tenggat yang relatif longgar, kekeliruan gramatika tentu tak bisa ditenggang. Beda dengan media dalam jaringan yang beritanya sebagian besar ditulis dengan tenggat yang sangat ketat, kesalahan gramatika masih bisa dimaklumi.

Ketakakuratan media dalam jaringan bahkan tak cuma menyangkut salah dalam penggunaan kata yang sesuai dengan kelasnya, tapi juga berkaitan dengan perkara makna alias semantik.

Seorang jurnalis di media dalam jaringan kadang menggunakan "profesionalitas" dan "profesionalisme" sebagai dua kata yang semakna. Padahal dua kata itu jelas berbeda makna. Begitu juga dengan dua kata yang punya akar yang sama, yakni "radikalisme" dan "radikalisasi".

Pemaknaan yang salah di lingkungan wartawan boleh jadi berakar pada kekurangtepatan kamus yang dijadikan rujukan wartawan dalam memaknai sebuah kata, istilah atau konsep. Jurnalis yang cermat mestinya tak harus puas dengan merujuk cuma pada KBBI untuk mengetahui makna kata, istilah atau konsep, tapi juga merujuk ke kamus lain yang kredibel, seperti Oxford Dictionary. Apalagi untuk mengetahui makna kata-kata, istilah atau konsep yang lahir dari tradisi pemikiran atau budaya Barat seperti ateisme, antiteisme, deisme dan agnostisisme.

Pernah ketika Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hendak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), koran harian Media Indonesia menggunakan "penaikan" dan bukan "kenaikan" ketika menulis berita atau tajuk tentang seputar harga BBM yang hendak dinaikkan itu.

Dua nomina abstak yang lahir dari kata dasar yang sama itu jelas punya makna yang berbeda. "Kenaikan" adalah hal naiknya, sementara "penaikan" adalah tindakan menaikkan. Dua kata itu harus dipakai dengan konteks yang berbeda tentunya, jadi bukan cuma salah satu saja yang digunakan tanpa melihat konteksnya.

Media Indonesia saat itu menggunakan "penaikan" untuk semua konteks. Jadi ringkasnya, media itu mengganti semua kata "kenaikan" dengan "penaikan".

Kekeliruan yang dilakukan jurnalis dalam menggunakan diksi yang tepat makna juga banyak terjadi ketika sang pewarta (yang diloloskan oleh penyunting) menggunakan frasa-frasa yang rancu atau berlebihan seperti "aksi ledakan bom", "aksi terorisme", dan "paham komunisme".

Jelaslah bahwa cukup "ledakan bom" tanpa diawali "aksi", dan "terorisme" yang didefinisikan sebagai "penggunaan teror atau kekerasan untuk mencapai tujuan" juga tak perlu diawali dengan "aksi". Karena dalam komunisme" sudah mengandung makna "paham", buanglah kata "paham" di depannya itu.

Pemilihan diksi yang akurat, spesifik jelas merupakan keniscayaan dalam pemberitaan. Hanya dengan demikianlah, berita bisa dikemas dalam bahasa yang padat, bernas, tak bertele-tele.

Ketidakcermatan dalam memilih diksi itu akan memperparah mutu berita bila kesalahan sintaksis atau gramatika berkelindan di sana. Tak jarang, kesalahan jenis yang terakhir ini diakibatkan oleh penggunaan kalimat kompleks, kalimat inversi yang dibuat oleh pewarta yang belum menguasai ilmu tata kata. Seharusnya, jurnalis di tahap ini membiasakan diri lebih banyak menggunakan kalimat tunggal atau majemuk setara dengan pola sederhana subjek-predikat-objek-keterangan.

Oleh M Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016