Jakarta (ANTARA News) - Pada hari Rabu, 9 Maret 2016, seluruh ciptaan bersama sarwa fauna dan flora layak memuji untuk mengamini fenomena alam langka gerhana matahari total (GMT) di Indonesia.

Selama 1,5 menit hingga tiga menit, baris demi baris puisi ilahi mencetuskan sukacita bercampur takjub paripurna.

Pujangga Latin klasik Ovidius melukiskan kegembiraan tak terperi dengan menulis sebait puisi mengenai intisari keindahan "tanta potentia formae est", yang artinya begitu besarlah daya kekuatan sebuah keindahan (alam semesta).

Layaknya baris demi baris dari setangkup puisi, gerhana matahari total masuk menyelinap ke dalam relung pengalaman manusia. Dengan menyaksikan fenomena alam ciptaan Yang Ilahi itulah, manusia memanjatkan puja-puji dalam mantra Ilahi karena hari itu bertepatan dan bersamaan dengan perayaan Nyepi.

Gerhana matahari total yang melewati 12 provinsi di Indonesia benar-benar memenuhi kredo dari puisi Yunani klasik bahwa kosmos selalu hadir apa adanya dalam keselarasan atau harmoni alam semesta.

Artinya, gerhana matahari total mengembalikan firdaus manusia yang telah sirna. Sebagai citra dari Yang Ilahi, jiwa manusia tiada henti mengembara bersama alam semesta. Sebanyak 12 provinsi di bumi Nusantara merayakan liturgi alam semesta dengan dipandu empat kata sarat penyesalan, "mea culpa, mea culpa", karena kesalahanku, karena kesalahanku.

Ya, keduabelas provinsi itu, yakni Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, dan Bangka Belitung, termasuk semua provinsi di Kalimantan (kecuali Kalimantan Utara), Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara.

Sesal yang memunculkan sesah, itulah nasib asasi setiap manusia. Manusia berujar, "Kami ingin memahami alam semesta, padahal kami sendiri berada dalam alam semesta yang justru kami ingin amati dan selidiki."

Di bawah tajuk peristiwa alam gerhana matahari total 2016 yang terjadi setiap 350 tahun, sang ciptaan Ilahi justru menepuk dada penuh bangga seraya berujar, mana mungkin peristiwa alam semesta mengandung segala sesuatu yang tidak terdefinisi atau terurai secara terang benderang.

Gerhana matahari total di 12 provinsi Indonesia memenuhi tilikan (insight) tidak sebatas fakta alam menakjubkan, tetapi ucapan penuh pengakuan akan misteri alam semesta dengan mengulang ujaran pujangga Aeneas, "Kita berlayar meninggalkan pelabuhan dan daratan serta kota-kota pun menjauh."

Sebagai manusia yang tidak menyerah kepada mahkamah mukjizat yang serba dipercaya tanpa pernah digugat maka fenomena alam gerhana matahari total sebagai puisi Ilahi memberi mandat setiap insan untuk menggelar penyelidikan dengan berbekal pertanyaan awal, mengapa alam semesta datang dan pergi layaknya pagi berganti malam.

Apakah gerhana matahari total merupakan mukjizat? Sebelum menjawab itu, bukankah manusia merupakan mukjizat Ilahi yang terbesar? Dua pertanyaan itu muncul dari satu pernyataan telak dari filosof Yunani klasik Aristoteles bahwa bumi merupakan pusat dari kosmos dan api akan naik sementara tanah akan ke bawah. Alam semesta bergerak secara melingkar dan tidak bersifat terbatas.

Keindahan puisi Ilahi dari gerhana matahari total justru meletak ketika warga masyarakat Indonesia memaknainya sebagai perayaan nan megah. Ini berpulang dari pernyataan yang dilontarkan oleh filosof teolog Agustinus bahwa manusia yang memohon keajaiban tidak melihat bahwa dia sebenarnya meminta kepada alam semesta agar menghentikan sejenak keajaiban-keajaibannya.

Gerhana matahari total 2016 dirayakan sebagai fakta keindahan. Saksikan euforia yang indah, dari Tidore Kepulauan, Maluku Utara yang siap menyuguhkan tradisi dolo-dolo kepada para wisatawan mancanegara (wisman).

Masyarakat setempat akan memukul kentongan bambu secara bersamaan di seluruh wilayah kampung saat terjadi gerhana matahari atau gerhana bulan. Mereka berharap dapat mengusir raksasa yang menelan bulan atau matahari. Masyarakat meyakini bahwa ada raksasa yang menelan matahari atau bulan.

Ingin merayakan liturgi kemeriahan gerhana matahari total, ratusan warga Poso, Sulawesi Tengah, siap menabuh padengko--sebuah alat bunyi-bunyian tradisional yang terbuat dari bambu. Kemeriahan itu digelar mulai Selasa (8/3) sebagai bagian dari Festival Kawaninya yang sedang disiapkan Pemkab Poso.

Di Balikpapan, Kalimantan Timur, akan digelar lomba perahu hias dan perahu naga di lapangan Merdeka dan Pantai Manggar, sedangkan di Maluku Utara dihelat program 10 hari bersih. Seluruh Babinsa di wilayah itu diperintahkan untuk melakukan pembersihan secara rutin di wilayahnya senyambang amanat Adat se Atorang.

Di Palembang, Yang indah dalam peristiwa alam gerhana matahari total ingin diekspresikan dalam lampion naga yang diberi nama Naga Sumatra dengan dominasi warna kuning dan merah pada sisiknya yang terbuat dari rangka besi dibalut kain, sementara kepalanya berbahan styrofoam.

Lampion naga itu mulai dipasang pada tanggal 8 Maret 2016 agar masyarakat dapat melihatnya, baik dari atas jembatan Ampera maupun di pelataran Benteng Kuto Besak Palembang. Replika naga raksasa berbentuk lampion sepanjang 18 meter dengan ketinggian 4,5 meter akan bertengger di Jembatan Ampera.

Rentetan kegembiraan bercampur keindahan hendak dirayakan menyambut gerhana matahari total 2016. Ada tiga makna dari fenomena alam yang akan terjadi pada hari Rabu, 9 Maret 2016.

Pertama, benar bahwa alam semesta menyembunyikan banyak misteri yang menarik untuk dipahami setiap manusia tanpa kecuali. Ini lantas tidak hanya berhenti hanya dengan pembacaan teks secara harfiah tanpa melakukan tilikan kritis dengan melakukan upaya telaah logis-sistematis terhadap peristiwa alam semesta.

Kedua, penyelidikan ilmiah dapat saja menjadi salah satu cara kerja untuk memahami sejengkal misteri dari peristiwa alam yang tersaji dalam kehidupan.

Ketiga, keunikan dari misteri Ilahi dapat saja dilihat dengan "mata telanjang". Gerhana matahari total hendaknya tidak dipenuhi dan tidak disesaki dengan rumusan-rumusan jelimet. Setiap keunikan dan setiap misteri alam tetap tersembunyi dan perlu dicermati agar sedikit demi sedikit tersingkap.

Ketika manusia melafalkan bait demi bait puisi Ilahi bertajuk gerhana matahari total, pantas dikutip pernyataan filosof Pierre Teilhard de Chardin, "Tidak ada bidang atau tahap di mana sains dan wahyu yang saling menggusur atau menjadikan sia-sia satu sama lain... Baik Sains maupun pewahyuan Ilahi sama-sama tidak dapat berfungsi selain dalam gerakan yang mempertemukan keduanya."

Oleh AA Ariwibowo
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016