Jakarta (ANTARA News) - Belakangan ini, melukis bagi Abdul Djalil Pirous adalah menulis catatan mengenai berbagai peristiwa dan pemikiran yang hinggap di kepalanya lewat seni kaligrafi dan tipografi.

"Pikiran itu bisa karena sesuatu dari luar atau pikiran saya yang tergoda persoalan luar, bisa persoalan religius, sosial , politik," kata sang seniman dalam pameran "A.D Pirous: Spiritual Calligraphy" yang berlangsung 1 Maret sampai 1 April di World Trade Center 2 Jakarta.

Sekali waktu, ia begitu terkesan dengan kemajuan Tiongkok dan teringat pesan ayahandanya semasa ia kecil, mengutip hadis yang mengatakan untuk menuntut ilmu hingga ke negeri China.

"Jau timu", katanya mengutip perkataan ayahnya dalam Bahasa Aceh yang berarti pergilah ke Timur.

Ia menerjemahkannya ke dalam rangkaian lukisan kaligrafi huruf Arab di kanvas berukuran 120X120 centimeter bernuansa warna beige yang berjudul "Tuntutlah Ilmu Walau ke Negeri Cina!" pada 2007.

Bila diperhatikan lebih seksama, ada aksara kanji Jepang dalam setiap huruf dalam kaligrafi tersebut yang mirip dengan aksara Tiongkok.

Pirous selalu menggunakan peristiwa yang pernah dia alami sebagai pemantik berkarya. Kanji Jepang ia pilih karena ia pernah mempelajarinya semasa kecil.

"Tidak ada sesuatu yang baru pada saya, itu semua sudah pernah saya alami, pelajari," katanya.

Bagi lelaki asal Meulaboh itu, menggunakan huruf dalam lukisan merupakan cara yang mudah untuk menyampaikan pikirannya.

"Kalimat disusun menjadi pikiran. Saya pakai huruf sebagai simbol yang sangat ampuh untuk menguntaikan pikiran saya," kata dia.


Awal Bertemu

Pertemuan Pirous dengan kaligrafi Arab berawal dari pengembaraan menekuni seni rupa barat yang  membuatnya merantau ke Negeri Paman Sam.

Kala itu 1970an, ia melihat pameran kaligrafi di sebuah galeri seni dan seketika terlempar ke masa kecilnya di Aceh, yang kental dengan nuansa Islami.

"Saya baru sadar betul treasure (kekayaan) seni kaligrafi Islam di Aceh setelah tahun 70," katanya.

Ia pun lantas kembali ke tanah kelahirannya untuk menelusuri makam-makam kuno yang memiliki ukiran kaligrafi dan mempelajari gaya yang dekat dengan caranya melukis.

Dua tahun setelah melihat pameran di Amerika Serikat, ia menggelar pameran seni kaligrafi modern pertamanya di Jakarta.

Ia pun selanjutnya menelusuri seni kaligrafi ke Surabaya, Gresik dan Madura.

Tahun 1980an, ia mulai memperluas spektrum bahasanya selain Arab untuk menyampaikan pemikirannya kepada publik yang lebih luas lewat kaligrafi.

"Saya ingin berkomunikasi, saya memakai bahasa dan bentuk yang mereka pahami."


Enggan menjual


Semakin lama berkarya, semakin banyak pula aktivitas yang harus dilakoni Pirous yang membuat sia sulit untuk tetap melukis.

"Untuk tetap menjadi pelukis, saya harus merancang dari 24 jam, berapa jam saya bisa melukis," katanya.

Bagi Pirous, melukis tidak hanya menuangkan pemikirannya lewat goresan di medium, namun juga interaksi antara dirinya dengan karya.

Ia meluangkan waktu sekitar dua jam dalam sehari untuk masuk studio dan berinteraksi dengan karyanya.

Pirous sengaja membuat 10 hingga 15 lukisan yang belum selesai dan menunggu mana yang memanggilnya begitu ia masuk bengkel kerja.

"Saya tunggu teguran itu, lalu saya pilih," kata lulusan dan pengajar di Institut Teknologi Bandung itu.

Dia membuat banyak lukisan agar bisa memanfaatkan lebih banyak waktu untuk melukis. Bila hanya membuat satu lukisan, kata dia, belum tentu terjadi interaksi selama dua jam.

"Kalau tidak, saya tidak jadi pelukis lagi," kata dia dan tersenyum.

Seiring perjalan kehidupannya, ia merasa berat harus melepas catatan-catatan yang dia tuangkan ke dalam kaligrafi meski mendapat tawaran yang tinggi dari peminatnya.

Bila tidak sangat terpaksa, ia enggan melepas lukisannya karena merasa begitu terikat dengan lukisannya.

"Makin ke sini, saya doyan membuat tapi tidak doyan menjual hehehe."

Ia membuat peraturan yang cukup keras bagi mereka yang ingin membeli lukisannya, ia harus benar-benar diyakinkan bila lukisan itu begitu berharga bagi calon pemiliknya, bukan untuk dibanggakan pada orang lain.

Sembilan belas tahun silam, ia pernah kecewa karena salah satu lukisannya yang terjual kepada seorang kolektor seharga 30.000 dolar AS.

Kala itu, Pirous menawarkan bantuan untuk mengantar dan menggantungkan lukisan tersebut di rumah pembelinya itu.

"Dia jawab 'oh tidak, lukisan ini akan saya simpan di gudang'. Bayangkan bagaimana terkejut dan kecewanya saya," kata dia.

Sementara lukisan yang dia jual terlalu murah justru membuatnya tersentuh karena pembelinya betul-betul menyukai karyanya.

Di suatu pasar seni, ia melihat seorang calon pembeli yang selalu memegang lukisannya agar tidak diambil orang lain, terus begitu di tengah hiruk-pikuk orang-orang yang datang ke gerainya.

Begitu ia dekati, orang tersebut hanya memiliki sedikit uang. Pirous meminta orang itu untuk menunggu hingga siang hari, bila tidak ada yang berminat, ia boleh membelinya.

Orang itu, Pirous melanjutkan kisahnya, betul-betul menunggu hingga sore hari ia bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.

"Lukisan itu yang memberi saya rasa bahagia. Saya tahu, dia betul-betul menginginkan lukisan saya."

"Saya tanya, siapa dia. Dia tukang sablon."

Keputusan Pirous untuk menyimpan 70 sampai 100 lukisannya juga dilandasi keinginan untuk terus memperkenalkan seni kaligrafi modern.

Pirous, yang menginjak usia 84 tahun ini, menyadari bahwa dia bisa pergi sewaktu-waktu.

Ia ingin selanjutnya karya-karyanya masih dapat bertatap muka dengan para peminatnya.

"Untuk bisa dipamerkan kalau sekiranya masih ada yang ingin tahu siapa saya," demikian A.D Pirous.

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016