Bumi sekarang tidak mempunyai matahari lagi. Tidak ada atas, tidak ada bawah lagi...Manusia sendirilah yang membunuh Tuhannya dan menghapus semua nilai."
Jakarta (ANTARA News) - Apakah meja dapat berjalan? Lunas dijawab, bahwa secara hakiki, meja tidak bertugas berjalan tetapi menjadi pelana bagi kepentingan manusia untuk menulis, makan, minum, berdiskusi dan belajar bahwa fenomena alam semesta secara provokatif menantang setiap manusia untuk mengajukan pertanyaan mengenai segala hal yang tersusun secara teratur (kosmos).

Sebagai gejala atau fainomenon, gerhana matahari total pada 9 Maret 2016, menyimpan dan mengandung intisari tersembunyi atau noumenon. Hal yang serba tersembunyi kerapkali mengundang tanya, apa ini apa itu? Mengapa begini mengapa begitu?

Bicara fenomena alam semesta, termasuk gerhana matahari total yang terjadi di 12 provinsi di Indonesia, maka hampir tidak ada yang tidak dapat dikatakan (nonsense), untuk itu bertanyalah secara provokatif, karena ketakutan (untuk bertanya) adalah hal yang pertama kali diciptakan oleh para dewa, sebagaimana ditulis dalam pepatah Latin klasik "primus in orbe deos fecit timor".

Segala hal yang tersusun secara teratur atau kosmos berlawanan dengan hal yang kacau balau atau khaos. Tidak khaos juga, bila ada ajuan penjelasan bahwa gerhana matahari sejatinya merupakan peristiwa alam di mana posisi Bulan, Matahari dan Bumi berada sejajar dan berada pada garis lurus.

Secara provokatif, kalau cahaya matahari ke bumi terhalang oleh bulan untuk beberapa waktu, maka janganlah takut dan janganlah lisut untuk menyaksikan fenomena alam yang sudah beberapa kali terjadi di wilayah Indonesia sebelum 2016, yaitu 24 Oktober 1995, 18 Maret 1988, 22 November 1984, dan 11 Juni 1983.

Rudin, atau merugi bila bila tidak menikmati dan mencermati gerhana matahari total yang akan kembali terjadi di Indonesia pada akan kembali terjadi di Indonesia pada 20 April 2042 dan 12 September 2053.

Yang provokatif, wilayah Indonesia akan dilintasi oleh gerhana matahari cincin dan total secara bersamaan pada 20 April 2023 dan 25 November 2049.

Manusia memahami dirinya hanya dalam waktu. Artinya, setiap kegiatan manusia terisi dengan aktivitas. Kalau "saya membaca, saya mengajar, saya menulis", maka manusia terpaut dalam insiden, kata yang berasal dari kata Latin "incidere", berarti jatuh ke dalam (aktivitas).

Yang provokatif ketika menyaksikan gerhana matahari total ketika manusia didaulat untuk bekerja, karena alam semesta sedang beraktivitas dalam kilasan insiden yang mengaitkan kosmos.

Kapan alam semesta bekerja? Setiap waktu. Kapan gerhana matahari total bekerja? Di wilayah bagian barat Indonesia, gerhana mulai terjadi mulai pukul 06.20 WIB, dan mencapai puncak gerhana pada 07.25 WIB.

Gerhana Matahari akan berakhir pada pukul 08.35 WIB. Di wilayah tengah Indonesia, gerhana matahari total akan terjadi pada pukul 07.25 WITA, dan wilayah timur pada 08.36 WIT.

Selain terdampar untuk bekerja, manusia terlempar untuk menyaksikan segala hal untuk diamati. Pertanyaan provokatifnya, apakah seharusnya kita heran bahwa kita hidup untuk mengamati segala hal?

Kalau gerhana matahari total dilarang untuk disaksikan oleh manusia, maka pernyataan itu bernilai kontradiksi, bertentangan satu sama lain.

Itu artinya, jika kondisi alam semesta tidak sesuai dengan keberadaan kita sebagai manusia, maka seharusnya manusia ada untuk mengamati segala peristiwa alam, bukan justru mengamini.

Silakan terkagum-kagum, serentak terkejut, setelah mengamati fenomena alam semesta. Kekaguman dan keterkejutan merupakan hal yang wajar, karena seseorang yang mati tidak bisa kagum, tidak mampu terkejut.

Ketika alam semesta dirajut dalam tenun halus dari semesta bintang dan aneka planet, dari bumi, sampai bulan yang bersekawan dengan galaksi, maka sederet pertanyaan provokatif terpapar, bahwa dari mana dunia kita ini? Dari mana asal segala peristiwa alam? Apa sebabnya matahari terbit dan tenggelam?

Yang provokatif, di Indonesia gerhana matahari total akan melintasi 12 provinsi; mulai dari Sumatera Barat (Pulau Pagai Selatan), Sumatra Selatan (Palembang), Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung (Tanjung Pandan), Kalimantan Tengah (Palangkaraya ), Kalimantan Timur (Balikpapan), Kalimantan Barat , Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah (Palu, Poso, Luwu), Maluku Utara (Ternate dan Maba).

Hanya saja, jalur totalitas gerhana tidak melalui semua kota di provinsi, di Medan (77,6 persen), Denpasar (76,44 persen), Makassar (88,54 persen), Jayapura (73,79 persen). Di Jakarta, dan pulau Jawa justru gerhana matahari dapat dinikmati dan disaksikan sekitar 50-60 persen.

Tidak kurang provokatif pernyataan dari Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, bahwa mitos belaka yang menyebut bahwa melihat gerhana matahari total dapat menimbulkan kebutaan.

Cahaya matahari sehari-hari dan gerhana sama-sama berbahaya, untuk itu jangan melihat Matahari secara langsung karena dapat membahayakan mata, yaitu retina dapat rusak, sebagaimana dikutip dari laman BBC Indonesia.

Agar mampu bertanya secara provokatif - ketika menghadapi fernomena alam gerhana matahari total - maka filosof Immnauel Kant (1724-1804) mengajak manusia untuk terbebas dari segala mitos dengan mengajukan tiga pertanyaan kunci ketika berziarah di dunia semesta raya.

Pertama, apa yang dapat saya ketahui? Kedua, apa yang harus saya perbuat? Ketiga, apa yang boleh saya harapkan? Ketiga pertanyaan itu makin bernuansa provokatif ketika filosof Nietzsche (1844-1900) membongkar kepalsuan perilaku dan perkataan manusia ketika bertanya mengenai alam semesta.

Ia bicara mengenai "bumi yang makin dingin dan makin gelap". Katanya, "Bumi sekarang tidak mempunyai matahari lagi. Tidak ada atas, tidak ada bawah lagi...Manusia sendirilah yang membunuh Tuhannya dan menghapus semua nilai. Dengan demikian, dunia sekarang makin dingin dan makin gelap."

Kebutaan hati dan kegelapan nurani merupakan gerhana matahari total bagi manusia yang tidak terbuka kepada setiap peristiwa alam yang serba provokatif. Pertanyaan simpelnya, bagaimana cara menyaksikan gerhana matahari dengan aman?

Dengan berbekal rumus provokatif dari filosof Thomas Aquinas (1225-1274) bahwa "yang diterima, justru diterima menurut cara penerima" (quidquid recipitur, recipitur secundum modum recipientis), maka alam semesta sama sebangun dengan keberadaan kita sebagai manusia.

Dengan begitu, kita dapat dapat menikmati gerhana matahari dengan menggunakan kacamata khusus yang bisa mereduksi cahaya sampai 100.000 kali.

Cara membuatnya: sediakan dua kertas HVS lalu lubangi salah satunya dengan jarum. Kemudian letakkan sejajar, satu menghadap Matahari, maka anda akan melihat pantulan matahari di bagian kertas yang lainnya.

Alat lainnya, yaitu kacamata hitam atau rol film untuk foto, dan bekas foto rontgen serta bagian dalam disket, hanya saja alat-alat itu hanya dapat digunakan untuk melihat gerhana dengan waktu yang tidak terlalu lama. Bisa juga digunakan bekas foto rontgen untuk digunakan agar dapat melihat gerhana Matahari.

Tips melihat gerhana matahari merupakan sederet hal yang provokatif, artinya membongkar tiga mitos bahwa bumi sekarang tidak mempunyai matahari lagi. Kedua, dunia sekarang makin dingin dan makin gelap. Mitos ketiga, manusia sendirilah yang membunuh Tuhannya.

Hal yang provokatif, yang dapat menimbulkan gerhana dunia, bahwa siapa pernah mengira Nelson Mandela yang telah dipenjara selama 27 tahun akhirnya mampu mewujudkan impian dahsyat, yaitu menumbangkan rezim apartheid. Resepnya, harapan yang tetap menyala dan membara. Harapan merupakan matahari bagi mereka yang berziarah di dunia.

Hal yang provokatif, ketika manusia tidak dapat memungkiri ada kebetulan-kebetulan yang terjadi dalam alam semesta dan menuntut penjelasan terang benderang. Alam semesta tidak ada, bila manusia tidak ada di dalamnya.

"Bumi sekarang tidak mempunyai matahari lagi. Tidak ada atas, tidak ada bawah lagi...Manusia sendirilah yang membunuh Tuhannya dan menghapus semua nilai."

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016