Berdasarkan RPJMN 2015-2019 terdapat `financing gap` (kekurangan pendanaan) dalam pembangunan infrastruktur sebesar Rp4.321 triliun. Dari kebutuhan dana Rp5.432 triliun, hanya mampu disediakan pemerintah pusat dan daerah sebesar Rp1.131 triliun,"
Jakarta (ANTARA News) - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendorong berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) membantu mengatasi kekurangan pendanaan dalam pembangunan infrastruktur di berbagai daerah di Tanah Air.

"Berdasarkan RPJMN 2015-2019 terdapat financing gap (kekurangan pendanaan) dalam pembangunan infrastruktur sebesar Rp4.321 triliun. Dari kebutuhan dana Rp5.432 triliun, hanya mampu disediakan pemerintah pusat dan daerah sebesar Rp1.131 triliun," kata Ketua Bidang Ekonomi Industri Teknologi dan Lingkungan Hidup DPP PKS Memed Sosiawan, dalam keteranga resminya di Jakarta, Rabu.

Menurut Memed, tidak mudah bagi kepala daerah yang baru dilantik menghadapi liberalisasi investasi proyek infrastruktur di daerah masing-masing dengan melakukan kerja sama pembangunan infrastruktur melalui skema PPP (Public Private Partnership) atau KPBU (Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha).

Apalagi, lanjutnya, jika kerja sama investasi yang masuk berasal dari swasta dan asing. Karena itu, diperlukan penerapan kehatian-kehatian, kecermatan, dan ketelitian dalam melakukan perencanaan "Apalagi bagi daerah yang tidak mempunyai ruang fiskal yang cukup longgar dalam APBD-nya dengan PAD yang tinggi," ujarnya.

Ia berpendapat bahwa kehati-hatian dalam perencanaan diperlukan karena dalam Perpres No 38 tahun 2015 tentang KPBU pemerintah melalui menteri keuangan dapat memberikan jaminan dan pembiayaan terhadap sebagian penyediaan infrastruktur.

Padahal, menurut dia, keterlibatan langsung pemerintah, baik pusat ataupun daerah, dalam pemberian jaminan dan pembiayaan sangat menghawatirkan, terutama apabila terjadi klaim langsung terhadap kewajiban pemerintah.

"Pemberian jaminan dan pembiayaan itu juga berpeluang memberikan sudden shock (guncangan tiba-tiba) terhadap stabilitas APBN dan APBD, sebagaimana pernah terjadi pada saat pemutusan kontrak Karaha Bodas oleh pemerintah yang mengakibatkan pemerintah harus membayar langsung klaim sebesar ratusan miliar rupiah," kata Memed Sosiawan.

Untuk itu, ujar dia, pemerintah sebaiknya memilih proyek infrastruktur yang dapat menguntungkan secara komersial agar tidak membebani APBN dan APBD.

Dia menganalisis bahwa dari sebanyak 19 jenis usaha yang ditetapkan oleh Perpres Nomor 38 Tahun 2015 tentang KPBU, tidak semuanya layak secara komersial.

"Belajar dari pengalaman tersebut, pemerintah sebaiknya memutus interaksi langsung dengan pihak swasta, membatasi eksposur pemerintah terhadap kewajiban darurat dari proyek infrastruktur, dan mendorong BUMN/BUMD untuk melakukan KPBU," jelasnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menjamin tidak ada pengurangan belanja infrastruktur meskipun ada kemungkinan target penerimaan 2016 tidak tercapai.

"Perlu saya sampaikan kalau terpaksa belanja harus dipotong, belanja infrastruktur tidak akan dipotong," kata Presiden Jokowi usai meninjau Proyek LRT Jakabaring-Bandara Sultan Badaruddin Mahmud II di Palembang, Kamis (3/3).

Presiden menyebutkan jika memang ada belanja yang dipotong maka belanja barang dan belanja rutin lainnya yang akan dipotong.

Pewarta: Muhammad Razi Rahman
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016