Jakarta (ANTARA News) - Mungkin hanya terjadi di Indonesia dan kenyataannya memang harga gas di negeri ini lebih mahal dibandingkan negara-negara lain produsen gas.

Berdasarkan data Fertecon, harga gas di Indonesia rata-rata mencapai 6-7,5 dolar AS per MMBTU (Milion British Thermal Unit), lebih tinggi dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia yang hanya mencapai 4,0 dolar AS per MMBTU.

Padahal harga minyak mentah dan gas dunia cenderung turun, namun harga gas di dalam negeri tetap bertahan tinggi.

Mungkin karena itulah, belum lama ini pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana mereformasi komponen-komponen harga gas yang ditengarai sebagai pemicu harga tinggi.

"Untuk harga gas, kami akan dorong untuk reformasi komponen-komponen yang menyebabkan harganya lebih tinggi dibandingkan tempat lain," kata Menteri ESDM Sudirman Said di Jakarta, usai Rapat dengan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.

Pemerintah nampaknya menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dalam menentukan harga gas di dalam negeri sehingga daya saing industri yang menggunakan gas tertekan di tengah gempuran perdagangan bebas saat ini.

Sudirman mengatakan paling sedikit ada empat komponen yang akan direformasi guna menekan harga gas agar tidak terlalu mahal.

Pertama, pemerintah berkorban di hulu agar sektor hilir mendapatkan harga yang lebih baik. "Itu akan diberikan kepada industri-industri tertentu yang berbasis gas," ujarnya.

Kedua, pemerintah akan mendorong sinergi infrastruktur gas agar harga gas di tempat lain tidak lebih mahal.

Ketiga, pemerintah akan menertibkan perdagangan gas (gas trading) yang diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) Nomor 6 Tahun 2016 yang merupakan revisi Permen ESDM No 37 Tahun 2015 tentang Ketentuan Dan Tata Cara Penetapan Alokasi Dan Pemanfaatan Serta Harga.

Keempat, pemerintah akan membentuk satu badan penyangga guna menemukan harga keseimbangan yang baru, sehingga tidak memberatkan sektor hulu dalam berproduksi dan sektor hilir dalam membeli.

"Jika badan ini terbentuk, akan ada mixing antara harga mahal dan murah sehingga ketemu keseimbangan harga baru. Ini memang perlu waktu tapi akan terjadi," ujar Sudirman.

Keseimbangan harga tersebut sangat penting karena pemerintah sedang serius membangun industri petrokimia guna menekan impor dan menjaga daya saing industri, termasuk industri pupuk yang memiliki peran penting dalam menjaga ketahanan pangan nasional.

Dalam Permen ESDM No 6 Tahun 2016, pemerintah makin menegaskan memprioritaskan penyediaan gas bumi untuk konsumen gas domestik, seperti rumah tangga, kendaraan, industri pupuk, dan pembangkit listrik.


Tertekan

Kemauan politik pemerintah tersebut tentu saja bakal disambut baik kalangan industri dan konsumen gas di dalam negeri, termasuk industri pupuk yang dikelola BUMN.

Selama ini industri pupuk yang menjadi salah satu penopang kedaulatan dan ketahanan pangan nasional sangat merasakan dampak harga gas yang tinggi pada daya saing mereka di pasar internasional.

Sedangkan di dalam negeri, harga gas yang mahal akan mendorong peningkatan nilai subsidi pemerintah terhadap harga pupuk, mengingat sekitar 70 persen komponen biaya produksi berasal dari gas sebagai bahan baku utama.

Hal itulah yang menyebabkan nilai subsidi pupuk pemerintah terus meningkat dalam empat tahun (2012-2014) yatu dari Rp13,96 triliun pada 2012 menjadi sekitar Rp28 triliun riliun pada 2015. Apalagi pembelian gas juga dilakukan dengan mata uang asing (dolar AS), sehingga ketika nilai tukar rupiah melemah, terjadi lonjakan signifikan dalam biaya produksi.

Selain itu harga eceran tertinggi (HET) pupuk urea bersubsidi juga tidak naik selama periode tersebut, yaitu bertahan di angka Rp1.800 per kilogram hingga kini.

"Jadi pertambahan biaya subsidi bukan karena pabrik pupuk tidak efisien, tapi karena faktor harga gas," ujar Dirut PT Pupuk Indonesia (PI) Aas Asikin Idat.

Di tengah situasi tersebut, manajemen PI tidak tinggal diam. Sejumlah strategi untuk membantu pemerintah menekan subsidi sekaligus meningkatkan daya saing industri pupuk terus dilakukan agar bisa terus menopang ketahanan pangan secara berkelanjutan.

Sejumlah pabrik pupuk yang sudah berusia di atas 20 tahun secara bertahap mulai direvitalisasi dan dibangun pabrik baru yang lebih efisien dalam penggunaan bahan baku gas.

Berdasarkan data PI, dari 15 pabrik yang ada di bawah induk perusahaan BUMN pupuk tersebut ada sekitar 10 pabrik berusia di atas 20 tahun alias sudah tua dan boros energi. Sebagai perbandingan pabrik Pupuk Kalimantan Timur (PKT)-5 yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada awal November tahun lalu hanya membutuhkan gas 23,6 MMBTU untuk memproduksi satu ton urea, sedangkan pabrik yang berusia di atas 20 tahun konsumsi gas mereka mencapai angka 24,5 sampai 37,8 MMBTU.

"Tahun ini kami berencana meresmikan pabrik baru Pusri Palembang (PSP) 2B dan akan terus melakukan revitalisasi dan membangun pabrik pupuk hemat energi," ujar Aas yang juga telah berencana membangun pabrik Kujang (PKC) 1C di Cikampek, Jawa Barat. Pengembangan itu sejalan dengan kebutuhan pupuk yang semakin meningkat untuk membantu peningkatan produktivitas lahan pertanian.


Produktivitas

Kontribusi pupuk terhadap peningkatan produktivitas lahan pertanian pun tidak bisa dipandang sebelah mata. Di tengah laju ekstensifikasi lahan pertanian yang minim, intensifikasi menjadi andalan dan pupuk memainkan peranan besar di situ.

Berdasarkan data PI yang diolah dari Badan Pusat Statistik (BPS), dalam satu dekade lebih (2003-2015), pertumbuhan penyaluran pupuk bersubsidi baik urea, NPK, ZA, SP-36, KCL, dan pupuk organik, dari total 5,67 juta ton pada 2003 menjadi 8,82 juta ton pada 2015, seiring dengan peningkatan produksi padi dari 52 juta ton pada 2013 menjadi 74 juta ton pada 2015. Atau tumbuh rata-rata pertahun sebesar 4,4 persen.

Demikian pula dengan tanaman pangan lainnya seperti kedelai dan jagung, serta tebu. Rata-rata ketiga produksi komoditas tersebut juga tumbuh seiring peningkatan penyaluran pupuk. Produksi kedelai dan jagung tumbuh dari masing-masing sebesar 0,6 juta ton dan 10 juta ton pada 2003 menjadi 0,9 juta ton dan 19,8 juta ton pada 2015.

"Jika peningkatan produksi tersebut dihitung dari sisi nilai komersilnya, maka nilainya mencapai Rp481,7 triliun mulai (2003-2014). Nilai itu jauh lebih tinggi dibandingkan total subsidi (pupuk) yang dikeluarkan pemerintah sebesar Rp125,56 triliun," kata Direktur Pemasaran PI Koeshartono.

Dengan demikian nampaknya subsidi yang dikeluarkan pemerintah tidak sia-sia karena mampu meningkatkan produktivitas tanaman pangan dan menjaga ketahanan pangan nasional, meskipun kadang pemerintah masih megeluarkan kebijakan impor pangan untuk menutupi kekurangan di tengah tumbuhnya permintaan domestik.

Bahkan tahun 2015, menurut Menteri Pertanian Amran Sulaiman, produksi padi sebesar 75,36 juta ton gabah kering giling (GKG) merupakan pencapaian tertinggi selama 10 tahun terakhir.

"Kita berhasil mencatatkan prestasi yang menggembirakan karena produksi padi tahun lalu bisa tertinggi dalam 10 tahun terakhir," ujarnya ketika bertemu ratusan petani di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, awal Maret lalu.

Memang bukan hanya peranan pupuk yang menentukan pencapaian tersebut. Namun setidaknya, pupuk mengambil andil cukup besar dan menjadi tulang punggung untuk menopang ketahanan pangan nasional. Oleh karena dukungan pemerintah melalui penyediaan gas dengan harga yang bersaing dibanding negara produsen lainnya, sangat penting agar industri pupuk nasional tetap tumbuh.

Oleh Risbiani Fardaniah
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016