Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia diharapkan melakukan review terhadap Preferential Trade Agreement (PTA) dengan Pakistan karena defisit perdagangan yang terjadi cukup lebar sementara surplus yang dikantongi Indonesia mencapai 1,8 miliar dolar Amerika Serikat pada 2015 lalu.

"Mereka minta tolong Gapki untuk menyampaikan kepada pemerintah. PTA itu akan direview, sebetulnya mereka meminta tambahan konsesi," kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono saat melakukan kunjungan ke LKBN Antara, di Jakarta, Kamis.

Menurut Joko, Pakistan merupakan pasar potensial khususnya untuk kelapa sawit dan saat ini kerangka kerja sama antara Indonesia dengan Pakistan tertuang dalam bentuk PTA yang berlaku sejak September 2013 lalu.

Saat itu, dengan ditandatanganinya kerja sama tersebut maka ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya asal Indonesia ke Pakistan tidak mendapatkan hambatan bea masuk. Sedangkan jeruk Kino milik Pakistan bisa melenggang bebas melalui pintu Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

"Untuk kelapa sawit sendiri sudah 2,1 juta ton ekspor ke Pakistan, itu besar sekali. Artinya pasar Pakistan itu penting untuk Indonesia," ujar Joko.

Dia menambahkan, permintaan Pakistan tersebut disampaikan oleh Duta Besar Pakistan untuk Indonesia beberapa waktu lalu. Sementara Gapki juga sudah menyampaikan permintaan tersebut kepada Menteri Perdagangan Thomas Lembong.

Perjanjian bidang tertentu antara Indonesia dan Pakistan tersebut mulai berlaku efektif sejak 1 September 2013 lalu dan mencakup 12 Harmonized System (HS).

Sesungguhnya kesepakatan tersebut sudah ditandatangani pada Februari 2012 sebelumnya, namun sempat tertunda karena pemerintah memperketat aturan impor hortikultura.

Total perdagangan Indonesia dengan Pakistan tercatat sebesar 2,16 miliar dolar AS pada tahun 2015 lalu. Ekspor Indonesia tercatat mencapai 1,99 miliar dolar AS, sementara impor sebesar 174,5 ribu dolar AS.

Sementara untuk neraca perdagangan Indonesia dengan Pakistan, Indonesia mengantongi surplus sebesar 1,81 miliar dolar AS.

Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016