Jakarta (ANTARA News) - Blok Masela adalah sebuah awal kisah bagi proyek eksplorasi gas terbesar di dunia.

Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengembangkan proyek gas Masela di darat bukan lantas menjadi berita yang diidamkan oleh sebagian pihak.

Inpex Masela Ltd yang telah mendapatkan hak untuk melakukan kegiatan eksplorasi di Blok Masela melalui penandatanganan kontrak Masela PSC pada 16 November 1998 bisa jadi tidak sepenuhnya bersuka cita atas keputusan Presiden.

Sumber di perusahaan itu menyatakan bahwa keputusan Presiden Jokowi terkait Blok Masela sedikit banyaknya melegakan karyawan yang kini nasibnya sedang di ambang "lay off" mengingat sektor migas yang sedang meredup prospeknya.

"Namun keputusan untuk onshore seperti membuang sia-sia apa yang sudah kami lakukan selama 17 tahun ini. Semua kajian harus diulang dan mulai lagi dari awal," kata sumber tersebut.

Harapan untuk mewujudkan eksplorasi optimal proyek Blok Masela mulai 2018, pun terpaksa harus mundur sebagaimana yang disebutkan oleh Menteri ESDM Sudirman Said.

"Uji Amdal saja perlu waktu sekitar lima tahun, jadi pasti mundur," kata Sumber itu.

Belum lagi menentukan pulau mana yang paling tepat untuk memulai proyek eksplorasi tersebut.

Pada prinsipnya, dalam rentang penantian eksplorasi Blok Masela nantinya ada begitu banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan.

Blok Masela dengan luas area saat ini lebih kurang 4.291,35 km2 terletak di Laut Arafura, sekitar 800 km sebelah timur Kupang, Nusa Tenggara Timur atau lebih kurang 400 km di utara kota Darwin, Australia, dengan kedalaman laut 300 meter hingga 1000 meter.

Potensi gas yang terkandung di blok itu menjadikan Masela rawan dengan intervensi politik dan kepentingan.

Pengamat Institute for Development and Economic Finance (Indef) Enny Srihartati menilai ada konflik kepentingan di Blok Masela.

Hal inilah yang kemudian menyebabkan rencana pengembangan blok kaya gas alam tersebut sempat lambat diputuskan karena adanya tarik ulur bahkan di internal pemerintah.

"Kalau ini pertimbangannya adalah pertimbangan profesional, tidak ada conflict of interest, itu mudah dihitung karena kan ada datanya, tinggal mengadu data itu kan," kata Enny.

Menurut Enny, persoalan utama Blok Masela bukan pada teknologi pengembangannya melainkan pada penguasaan blok gas terbesar di dunia tersebut.

"Jadi intinya adalah bagaimana kita mengelola sumber daya ini betul-betul dikuasai penguasaannya oleh pemerintah dulu," katanya.

Sejatinya pantas jika Blok Masela rentan dengan konflik kepentingan mengingat potensi besarnya sebagai cadangan gas terbesar di dunia.

Bahkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiam Rizal Ramli pernah memastikan, Indonesia bisa mengalahkan Qatar dalam pengelolaan gas jika Blok Masela sudah beroperasi.

Rizal menyebutkan, Blok Masela merupakan ladang gas abadi yang dimiliki oleh Indonesia dengan cadangan gasnya yang bisa bertahan selama 70 tahun ke depan.

Pantas jika kemudian Presiden Jokowi terkesan lambat memutuskan.

"Ini adalah sebuah proyek jangka panjang, tidak hanya setahun, dua tahun, tidak hanya 10 tahun, 15 tahun tetapi proyek yang sangat panjang, yang menyangkut ratusan triliun rupiah," kata Presiden Jokowi.

Oleh Hanni Sofia Soepardi
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016