Jakarta (ANTARA News) - Menteri Perdagangan Thomas Lembong menyatakan, pihaknya tengah mengevaluasi kebijakan terkait dengan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang saat ini ekspor produk industri kehutanan tidak lagi mewajibkan penyertaan Dokumen V-Legal untuk produk hilir.

"Kita melihat (SVLK) itu salah satu komponen deregulasi yang pro dan kontranya paling kencang. Jadi memang kami sedang mengevaluasi dan harus diputuskan dalam waktu dekat," kata Thomas, di Jakarta, Selasa.

Thomas mengatakan, saat ini Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 89/M-DAG/PER/10/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan yang tengah dievaluasi tersebut, dikarenakan adanya tekanan dari para pembeli luar negeri untuk mewajibkan produk hilir juga memiliki Dokumen V-Legal.

"Kita menderegulasi SVLK dan menghapuskan kewajiban sertifikasi di hilir karena di hulu sudah. Tapi memang, ada banyak tekanan khususnya dari pihak pembeli untuk kewajiban di hilir tetap diberlakukan," ucap Thomas.

Thomas menjelaskan, terkait dengan SVLK tersebut selalu berujung pada isu lingkungan. Dan harus diakui bahwa kebakaran gambut yang terjadi di Indonesia tahun 2015 lalu sangat menyulitkan posisi Indonesia untuk melakukan negosiasi dengan negara-negara mitra dagang, khususnya negara maju.

"Misal kita bilang tidak perlu memperkuat SVLK karena hutan Indonesia sudah baik, mereka tidak akan percaya karena kebakaran yang terjadi tahun lalu. Kebakaran itu masih terus berdampak pada reputasi Indonesia terkait lingkungan hidup dengan negara mitra dagang yang sangat peduli dengan isu lingkungan," ujar Thomas.

Menurut Thomas, prioritas utama untuk Kementerian Perdagangan saat ini dari sisi internasional adalah perjanjian kerja sama pasar bebas (FTA) dengan Uni Eropa dalam "Comprehensive Economic Partnership Agreement" (CEPA) dan "European Free Trade Agreement" (EFTA) dengan Norwegia, Islandia, Swiss dan Liechtenstein.

"Kebakaran lahan gambut itu menyulitkan kita untuk bernegosiasi, khususnya untuk melonggarkan pasar-pasal yang berkaitan dengan lingkungan," ucap Thomas yang kerap disapa Tom tersebut.

Saat ini, Kementerian Perdagangan tidak lagi mewajibkan penyertaan Dokumen V-Legal untuk ekspor produk industri kehutanan, namun harus disertai dokumen yang dapat membuktikan bahwa bahan baku dari produk tersebut berasal dari penyedia bahan baku yang memiliki Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK).

Ekspor produk industri kehutanan yang termasuk dalam kelompok B tanpa dilengkapi dengan Dokumen V-Legal, akan tetapi harus disertai dengan dokumen yang membuktikan bahwa bahan bakunya berasal dari penyedia yang memiliki S-LK. Produk industri kehutanan kelompok B tersebut terdiri dari 15 Nomor Pos Tarif (HS).

Dalam aturan yang ditetapkan pada 19 Oktober 2015 tersebut, produk industri kehutanan yang termasuk dalam kelompok B di antaranya adalah, perabotan kayu, perkakas, dan juga bingkai kayu. Dokumen V-legal adalah dokumen yang menyatakan bahwa produk kayu memenuhi standar verifikasi legalitas kayu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Sementara untuk yang masuk dalam kelompok A, wajib dilengkapi dengan Dokumen V-Legal yang diterbitkan oleh Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK). Produk industri kehutanan yang masuk dalam kelompok A, antara lain adalah kayu dalam bentuk keping, lembaran kayu veneer, papan partikel, pulp kayu, kertas dan kertas karton, serta kayu lapis.

Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016