Di era media sosial (medsos), hampir setiap orang dapat menjadi reporter, fotografer dan redaktur sekaligus. Itu semua berkat kemajuan teknologi informasi yang semakin canggih dan harganya semakin terjangkau.

Asal dapat menulis dan mencet tombol HP, seseorang dapat menjadi wartawan medsos. Tidak perlu sekolah dan atau mengikuti diklat khusus, gelar "content provider" atau penyedia informasi dapat disandangnya. Cara kerja medsos yang digelari "new media" (media baru) mengikuti jejak kantor berita.

Karena gampangnya, jangan tanya kualitas sajian medsos. Itu bisa dilihat di facebook, twitter dan WAG (Whatsapp Group). Info apapun (text, foto dan audio) semuanya masuk dan bisa cepat tersebar luas. Tentu, berikut dampak positif dan negatifnya.

Banyak informasi penting, bermutu, perlu diketahui dan diamalkan demi kebaikan atau sebagai peringatan agar terhindar dari musibah diunggah. Lelucon segar, bercampur dengan yang jorok dan fatwa yang menyejukkan.

Tak kalah pula banyaknya sumpah serapah, pujian setinggi langit untuk orang yang disukainya dan sebaliknya caci maki, hujatan tak kenal batas terhadap orang yang tidak disukainya atau dianggap musuhnya. Juga aneka kampanye kotor bercampur dengan "hoax".

Saya ditambahkan oleh seseorang (tanpa memberitahu sebelumnya) bergabung di sebuah WAG. Celotehan yang diunggah aneka ragam. Sungguh-sungguh bebas tanpa batas. Misalnya, ada yang mengunggah opininya bahwa ia tidak peduli dengan apa pun yang disebut kepentingan nasional asal ia bisa bebas minum bir dan membawa ceweknya berbikini di pantai mana pun ia mau.

Pendukung LGBT juga bebas berpromosi, demikian pula penentangnya. Tak ketinggalan isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) bebas dibahas.

Itu semua di era Orba adalah tabu karena dianggap bisa menggangu stabilitas keamanan, persatuan dan kesatuan nasional. Gambar-gambar porno, juga bisa dilihat dengan mudah oleh siapa saja, termasuk anak-anak di bawah umur.

Ini yang oleh sebagian orang disebut kebebasan atau "demokrasi" ala medsos. "Citizenship" (kewarganegaraan), sekarang diganti dengan "netizenship" (anggota grup jaringan berbasis internet). Anggota grup ini dapat berperan efektif untuk kampanye dalam pemilihan umum legislatif, pilpres dan pilkada.

Cuitan netizen sering dimahkotai sebagai suara publik. Padahal, yang disebut publik itu heterogen. Ada stratatifikasi berdasar jender, usia, pendidikan, status ekonomi sosial dan pengelompokan berdasar SARA.

Terungkap juga bahwa cuitan netizen itu bisa dimobilisasi dengan iming-iming uang sebagai bagian dari praktik "money politics" atau "fulitik" (fulus untuk politik). Pemilik uang atau kaum kapitalis bisa sangat berjaya di era ini.

Bagi yang suka silahkan nikmati medsos, bagi yang tidak suka, silahkan tinggalkan grup. Gampang, tinggal tulis "left". Atau "delete" (hapus) informasi yang dianggap mengganggu. Sebagai pengamat media, saya pilih bertahan sambil sering kali geleng kepala sambil menghapus.

Maraknya medsos sulit dibendung, tak mungkin dihindari. Tapi bisa dikendalikan oleh orang-orang baik yang peduli akan dampak negatif medsos. Caranya: kampanye melek media (media literacy) tentang apa yang sebaiknya diunggah dan diunduh.

Siapa penanggung jawab medsos? Ada admin(istrator), tapi tugasnya cenderung meneruskan apa yang masuk. Hal-hal yang dulu sampai sekarang diharamkan media konvensional (cetak, radio dan televisi) sekarang bebas bisa dinikmati.

Sajian medsos di mata praktisi media konvensional dianggap masih sebagai karya reporter permulaan. Maklum, tidak ada redaktur, yang menyaring, memeriksa dan mengedit info yang masuk.

*) Penulis adalah wartawan senior, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000 dan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010

Oleh Parni Hadi *)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016