Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Penjamin Simpanan belum memiliki jumlah dana penjaminan yang ideal untuk resolusi atau penyelematan bank dalam pencegahan krisis keuangan.

Anggota Dewan Komisioner LPS Destry Damayanti di sebuah seminar di Jakarta, Senin, mengatakan jumlah dana cadangan untuk resolusi bank, di beberapa negara, adalah 2,5 persen dari total himpunan Dana Pihak Ketiga industri perbankan.

Sementara hingga saat ini, dana resolusi bank milik LPS, yang berasal dari iuran perbankan, masih sekitar 1,5 persen dari DPK atau Rp67 triliun dari Rp4.500 triliun.

"Resolusi bank oleh LPS menggunakan dana yg dikumpulkan oleh perbankan yg selama ini 0,2 persen per tahun," ujarnya dalam Seminar Pencegahan dan Penanganan Krisis Keuangan bagi Kemajuan Ekonomi.

"Jadi masih perlu LPS meningkatkan hasil dana dari premi industri," tambah dia.

Namun, ditegaskan Destry, hingga saat ini belum ada wacana untuk meningkatkan dana premi yang diminta ke perbankan.

Dalam kerangka pencegahan dan penanganan krisis akibat bank berdampak sistemik sesuai Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), LPS merupakan "penjaga" atau jaring ketiga, setelah posisi pertama Otoritas Jasa Keuangan, dan kedua Bank Indonesia.

Penanganan oleh ketiga otoritas tersebut lebih diutamakan dalam langkah pencegahan. Dana yang dibayarkan untuk pencegahan maupun penyelematan itu juga menggunakan sistem "bail in" atau dana talangan dari dalam.

Dengan demikian dananya berasal dari pemilik atau pemegang saham pengendali, bukan lagi menggunakan uang negara melalui "bail out".

Destry mengatakan, karena yang diutamakan adalah sistem pencegahan, maka dana "bail in" akan menjadi tambahan likuiditas yang diberikan sebelum sebuah entitas dinyatakan gagal atau bangkrut.

Mekanisme "bail in" akan dijaga oleh OJK. Penjaga kedua BI, yakni menjadi pemberi fasilitas pinjaman kepada bank bermasalah atau "lender of last resort".

Selanjutanya, LPS sebagai penjaga ketiga akan memberikan "deposit insurance" dan dana resolusi bank jika dua langkah sebelumnya dari "bail in" dan pijaman BI belum bisa menutupi kegagalan penanganan bank bermasalah.

Wakil Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Soepriyatno mengatakan, sebenarnya bisa saja dana bantalan fiskal dalam APBN digunakan untuk penyelmatan bank berdampak sistemik.

Namun, langkah itu adalah opsi terakhir dengan dasar keputusan Presiden, jika kondisi krisis sudah benar-benar darurat dan tidak bisa diselesaikan oleh OJK, BI dan LPS.

"Jika Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tak bisa mengatasi bank bermasalah, khususnya bank berdampak sistemik, Presiden bisa menetapkan dan mengambil langkah kondisi keuangan darurat dengan menggunakan bantalan di APBN," kata dia.

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016