Surabaya (ANTARA News) - Warga Seoul, Korea, Kim Ji Sub, mengikuti pelaksanaan Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK) atau yang lebih dikenal ujian kejar Paket C di Surabaya, karena memilih menjadi warga belajar atau "home schooling" daripada sekolah.

"Saya berencana akan melanjutkan kuliah di Soul, Korea, sehingga berkeinginan untuk kembali mengejar ijazah yang diakui pemerintah Indonesia," kata Kim, sapaan akrabnya ketika ditemui di sela-sela aktivitasnya mengikuti ujian kejar Paket C di SMPN 22 Surabaya, Rabu.

Kim yang sudah fasih berbicara dengan Bahasa Indonesia layaknya anak Surabaya itu menilai home schooling dipilih sebagai proses belajar-mengajarnya karena dinilai bisa berbagi waktu untuk belajar dan aktivitas lain.

"Dulu sempat ikut fashion sampai ke Jakarta, namun sekarang lebih banyak membantu bisnis orang tua," kata anak dari pengusaha ekspor impor di Surabaya.

Kim bukan satu-satunya orang yang memilih pendidikan kesetaraan karena alasan tidak memiliki banyak waktu untuk sekolah. Pembalap motor RC 25 Surabaya, Calvin Klein juga memilih kejar paket karena bisa mengatur waktu di sela-sela kesibukannya berlatih.

"Hampir setiap hari menghabiskan waktu di Jakarta untuk berlatih karena di Surabaya tidak ada sirkuit. Satu-satunya sirkuit di Indonesia hanya Sentul, jadi setiap latihan harus ke Jakarta," kata Calvin, panggilan namanya.

Bagi Calvin, balap motor adalah nomor satu, namun pendidikan juga tidak bisa ditinggalkan karena untuk masuk ke perguruan tinggi juga membutuhkan ijazah yang legal dan diakui negara, sehingga pilihannya dengan mengikuti home schooling.

Selain pembalap motor, pelaksanaan ujian di sekolah yang berlokasi di Jalan Gayungsari Barat X-38 itu juga ada seorang atlet golf, Almay Rayhan. Pegolf yang kini membela club milik Pemprov DKI Jakarta itu sudah mengikuti pertandingan golf internasional.

"Terakhir berhasil membawa pulang medali emas kategori individual dan beregu sekaligus. Medali itu diraih dari Asian School Game 2015 di Brunei Darussalam," tuturnya.

Menanggapi hal itu, Kabid Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI) Disdik Jatim Nashor mengatakan latar belakang peserta ujian kejar paket memang beragam, tidak selalu mereka yang memiliki masalah sosial yang ikut kejar paket.

"Jadi jangan sekali-kali mendiskriminasikan siswa kejar paket. Mereka punya motivasi belajar yang tinggi meski sebenarnya mereka juga punya aktivitas yang padat. Legalitas ijazah juga diakui negara, bahkan yang menandatangani adalah Kepala disdik setempat," katanya.

Di Jatim, kata Nashor, tercatat ada 8.301 warga belajar. Seluruhnya masih menggunakan ujian dengan metode Paper Based Test (PBT), termasuk peserta yang ada di Surabaya. 

Pewarta: Indra/Laily
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016