Sementara tingkat ketimpangan menurut responden seharusnya hanya 28 persen."
Yogyakarta (ANTARA News) - Kesenjangan tingkat pendapatan masyarakat di Indonesia jauh lebih tinggi melampaui perkiraan masyarakat, kata ekonom Bank Dunia, Ririn Salwa Purnamasari.

"Masyarakat Indonesia merasa kesenjangan/ketimpangan sudah terlalu tinggi, padahal kenyataannya ketimpangan yang terjadi justru lebih tinggi dari yang mereka perkirakan," katanya dalam seminar "Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia: Perspektif Kerakyatan" di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sabtu.

Hal itu disimpulkan dengan merujuk hasil survei persepsi ketimpangan yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2014 terhadap 3.000 sampel penduduk Indonesia.

Dalam hasil survei itu tingkat ketimpangan yang diperkirakan responden mencapai 38 persen, padahal dalam kondisi sebenarnya tingkat ketimpangan telah mencapai 49 persen penduduk Indonesia.

"Sementara tingkat ketimpangan menurut responden seharusnya hanya 28 persen," katanya.

Menurut Ririn, penanganan ketimpangan nasional perlu menjadi agenda prioritas pemerintah saat ini. Peningkatan ketimpangan yang dinilainya melaju cukup cepat dikhawatirkan mengganggu pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial.

Ia mengatakan, meski dari sisi pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah cukup baik dan tingkat kemiskinan melambat, namun laju peningkatan ketimpangan (koefisien gini) masyarakat Indonesia relatif tinggi mencapai 10 poin setiap tahun.

Terjadinya ketimpangan di Indonesia, menurut dia, antara lain karena belum adanya pemerataan dalam hasil pembangunan nasional.

Sesuai data Bank Dunia, 50 persen pendapatan negara masih dinikmati oleh penduduk terkaya, sisanya dibagi rata.

Berdasarkan data Bank Dunia pada 2002 konsumsi dari 10 persen penduduk terkaya di Indonesia sama banyaknya dengan total konsumsi dari 42 persen penduduk termiskin.

Selanjutnya, pada 2014 konsumsi dari 10 persen penduduk terkaya setara dengan total konsumsi dari 54 persen penduduk termiskin.

Deputi Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Rahma Iryanti mengatakan, untuk memutus siklus ketimpangan antargenerasi pemerintah telah menetapkan berbagai strategi pembangunan nasional diantaranya dengan memperkuat sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Kredit usaha rakyat (KUR) yang pada 2016, menurut dia, akan disalurkan Rp100 triliun disertai subsidi bunga pinjaman yang dialokasikan mencapai Rp10,5 triliun, agar cukup ideal untuk mendorong produktivitas serta pertumbuhan jumlah pelaku usaha.

"Tinggal jangan sampai bank penyalur KUR hanya menyasar pelaku usaha yang sudah dianggap bankable saja. Untuk hal itu kami akan lakukan intervensi langsung," katanya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Anwar Sanusi, optimistis melalui dana desa yang tahun ini dialokasikan Rp60 triliun mampu mengentaskan kemiskinan hingga di pelosok daerah.

"Dana tersebut dapat dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur usaha padat karya," katanya.

Adapun Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada Agus Heruanto Hadna menilai perlu ada perubahan cara pandang pemerintah dalam merumuskan parameter kemiskinan.

Untuk menentukan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang efektif, maka definisi dan parameter kemiskinan yang tepat, menurut dia, sangat dibutuhkan.

Menurut dia, penghitungan kemiskinan secara moneter yang selama ini digunakan oleh pemerintah pada kenyataannya belum cukup menggambarkan kondisi riil kemiskinan di tingkat daerah.

"Ada permasalahan serta parameter kemiskinan yang selama ini terlalu mengandalkan data moneter. Padahal harus dilihat secara komprehensif dan beragam," ujarnya menambahkan.

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2016