Jakarta (ANTARA News) - Komisioner Komnas HAM Siane Indriani dan Ketua Bidang Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas di Jakarta, Senin, mengungkapkan uang Rp100 juta yang diterima Suratmi, istri terduga teroris Siyono, beberapa waktu lalu.

Uang itu diterima Suratmi dan Wagiono, kakak almarhum Siyono, dari lima perempuan yang diduga anggota polisi dari Densus 88.

Suratmi dan Wagiono masing-masing mendapatkan satu gepok uang dalam bungkus warna coklat. Setiap gepok berisi lima bundel uang pecahan Rp100 ribu di mana satu bundelnya berjumlah Rp10 juta.

Satu gepok uang untuk Suratmi diberikan untuk biaya hidup untuk dia dan lima anaknya, sedangkan satu gepok uang untuk Wagiono diberikan untuk membiayai pemakaman Siyono.

Suratmi dan Wagiono tidak membuka bungkusan uang ini, sebaliknya menyerahkannya ke PP Muhammadiyah sebagai kuasa hukumnya. Bungkusan uang ini dibuka oleh Busyro dan Siane di depan awak media.

"Uang ini belum pernah dibuka sebelumnya. Kami simpan," kata Busyro.

Siane mempertanyakan asal uang Rp100 juta ini.

"Anggaran dari mana, tidak tahu, uang ini akan masih dicari prosedur yang proporsional untuk mengungkap sisi yang lebih terang tentang proses yang berkaitan dengan kematian tidak wajar Siyono," kata Siane.

PP Muhammadiyah, Komnas HAM, dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat masih merumuskan langkah selanjutnya dalam menyikapi kasus pemberian uang itu.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengatakan sikap Suratmi tidak membuka uang pemberian itu bisa menjadi pelajaran moral berharga.

"Karena ada kebenaran yang dicari, uang itu ditolak dan diserahkan ke PP Muhammadiyah," kata Haris.

Hasil otopsi

PP Muhammadiyah, tim dokter forensik dari Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia cabang Jawa Tengah dan Komnas HAM hari ini juga memaparkan hasil otopsi jasad Siyono.

Ada empat poin dari hasil otopsi itu.

Pertama, tidak benar bahwa telah dilakukan otopsi sebelumnya terhadap jenazah Siyono.

Kedua, tidak benar ada indikasi kematian oleh pendarahan hebat di kepala Siyono.

Ketiga, penyebab kematian Siyono adalah patah tulang dada yang mengenai jantung.

Keempat, tim dokter forensik tidak menemukan ada indikasi Siyono melakukan perlawanan, berdasarkan tidak adanya luka tangkis akibat melawan serangan.

Otopsi forensik terhadap jasad Siyono dilakukan oleh sembilan dokter forensik dari Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia Cabang Jawa Tengah dan satu dokter forensik dari Polda Jawa Tengah. Tim ini diketuai oleh dokter Gatot Suharto.

Otopsi dilakukan Minggu pagi 3 April lalu di tempat pemakaman Siyono di Klaten, Jawa Tengah.

Hasil otopsi diperoleh tujuh hari kemudian karena ada pemeriksaan mikroskopis.

Siyono, warga Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, ditangkap oleh Densus 88 Mabes Polri. Dia meninggal dunia di Jakarta, Jumat 11 Maret.

Pihak keluarga, terutama Suratmi, meminta keadilan terkait dengan meninggalnya sang suami.

Komnas HAM mencatat Siyono adalah orang ke-121 yang tewas setelah ditangkap Densus 88 Antiteror sejak satuan khusus Polri untuk penanggulangan terorisme itu dibentuk pada 26 Agustus 2004.

Haris Azhar mengatakan pemaparan hasil otopsi jenazah Siyono membawa pesan penting bahwa memberantas terorisme harus profesional dan bermartabat.

"Kenapa terorisme masih ada, karena penegakan hukumnya amburadul. Komnas HAM melakukan suatu tindakan forensik dan profesional yang mudah-mudahan bisa jadi cermin, bahwa setelah ini harus ada evaluasi," kata Haris.

Menurut dia, hasil otopsi dapat digunakan oleh Komnas HAM dan ormas-ormas lain untuk menuntut agar kebenaran diungkap dan segala akibat buruk harus ada kompensasinya.


Jakarta, 11/4 (Antara) - Komisioner Komnas HAM Siane Indriani dan Ketua Bidang Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas di Jakarta, Senin, mengungkapkan mengenai uang Rp100 juta yang diterima oleh istri terduga teroris Siyono, Suratmi, beberapa waktu lalu.

Uang tersebut diterima oleh Suratmi dan Wagiono, kakak almarhum Siyono, dari lima perempuan yang diduga merupakan anggota polisi dari Densus 88.

Suratmi dan Wagiono masing-masing mendapatkan satu gepok uang dalam bungkus warna coklat. Masing-masing gepok berisi lima bundel uang pecahan Rp100 ribu di mana satu bundelnya berjumlah Rp10 juta.

Satu gepok uang untuk Suratmi diberikan untuk biaya hidup dirinya dan kelima anaknya, sedangkan satu gepok uang untuk Wagiono diberikan untuk membiayai pemakaman Siyono.

Suratmi dan Wagiono tidak membuka bungkusan uang tersebut dan kemudian menyerahkannya ke PP Muhammadiyah sebagai kuasa hukumnya. Bungkusan uang tersebut dibuka oleh Busyro dan Siane di depan awak media.

"Uang ini belum pernah dibuka sebelumnya. Kami simpan," kata Busyro.

Sementara itu, Siane mempertanyakan mengenai asal uang Rp100 juta tersebut. "Anggaran dari mana tidak tahu, uang ini akan masih dicari prosedur yang proporsional untuk mengungkap sisi yang lebih terang tentang proses yang berkaitan dengan kematian tidak wajar Siyono," kata dia.

PP Muhammadiyah, Komnas HAM, dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat lain masih merumuskan langkah selanjutnya yang akan diambil menyikapi kasus pemberian uang itu.

Selain itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengatakan sikap Suratmi tidak membuka uang pemberian tersebut dapat menjadi pelajaran moral berharga.

"Karena ada kebenaran yang dicari, uang itu ditolak dan diserahkan ke PP Muhammadiyah," kata Haris.

Oleh Calvin Basuki
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016