... mengaku identitasnya adalah kelautan tetapi programya adalah reklamasi dan tanggul laut yang bertentangan dengan visi poros maritim dunia...
Jakarta (ANTARA News) - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan, aktivitas reklamasi di Teluk Jakarta dan berbagai daerah lain merupakan paradoks atau bertentangan dengan visi poros maritim dunia pemerintahan Kabinet Kerja-nya Presiden Jokowi.

"Pemerintah mengaku identitasnya adalah kelautan tetapi programya adalah reklamasi dan tanggul laut yang bertentangan dengan visi poros maritim dunia," kata Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim, dalam konferensi pers, di Jakarta, Senin.

Halim mengingatkan, Jokowi telah menyebutkan bahwa pantai, teluk, dan samudera akan menjadi "halaman depan republik" dalam rangka memberikan kemakmuran bagi semua rakyat.

Karena itu, dia heran karena dalam Rencana Pemerintah Jangka Menengah Nasional 2014-2019 termaktub reklamasi dijadikan program prioritas.

Selain di Jakarta, ujar dia, pihak Kiara juga tengah mengadvokasi warga di sana karena memberikan izin kepada perusahaan untuk mereklamasi Tapak Tugurejo di Semarang. 

Pada saat ini paling tidak sekitar 30 provinsi/kabupaten/kota yang "tertarik" mereklamasi perairannya.

Saat ini pro-kontra mega proyek reklamasi Teluk Jakarta terus bergulir dan publik menghendaki ada komite gabungan penilai yang dibentuk secara transparan, kredibel, dan bekerja secara jujur. 

"Proses kajian dan evaluasi terhadap proyek reklamasi Teluk Jakarta oleh Komite Gabungan yang terdiri dari perwakilan Kemenko Maritim, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus dilakukan secara terbuka, partisipatif, dan mengutamakan kepentingan publik," kata Komisioner Komisi Informasi Pusat, Yhannu Setyawan.

Menurut dia, keterbukaan ini penting untuk memastikan agar keputusan yang akan diambil pascapenghentian sementara atau moratorium reklamasi bersifat objektif, bukan merupakan keputusan politis yang hanya menguntungkan para pemilik modal dan mengabaikan kepentingan masyarakat umum.

Dia menilai, permasalahan reklamasi itu buntut dari proses pengambilan kebijakan yang tertutup, baik oleh pihak pemerintah maupun DPRD DKI Jakarta.

Padahal, lanjutnya, kebijakan itu sangat berkaitan erat dengan kepentingan masyarakat, terkhusus sekitar 3.000 nelayan tradisional dengan berbagai efek ikutannya, yang tak bisa melaut lagi akibat proyek reklamasi.

Selain itu, ujar dia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun juga telah menemukan ada indikasi mega proyek reklamasi menyebabkan kerusakan lingkungan dan pelanggaran administrasi perizinan.

Pengambilan kebijakan yang tertutup ini, jelas dia, sangat bertentangan dengan UU Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publlik, yang telah menjamin hak warga negara mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik (pasal 3 UU KIP).

"Pemerintah dan dewan dituntut untuk mengutamakan nasib masyarakat di sekitar area reklamasi ketimbang membuat teluk Jakarta menjadi kawasan privasi eksklusif yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu saja," katanya.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016