Kontroversi Reklamasi Wilayah DKI Jakarta masih mewarnai pemberitaan sebagian besar media. Proses penertiban lahan di Penjaringan, bahkan telah "menumpahkan darah", banyak sumpah serapah.

Debat antara pendukung dan penentang reklamasi tersebut seolah-olah terbatas soal pilihan pembangunan di mata kaum "developmentalist" dan "environmentalist" saja. Masyarakat pun makin terbiasa terbelah.

Seolah hanya soal antara penegakan hukum atas tanah negara di atasnya dan para penduduk liar semata.

Padahal ada soal lain, tentang perilaku atau budaya sosial-kemasyarakatan dan pentingnya kesadaran para pemimpin terhadap ancaman kerusakan budaya yang ditimbulkan oleh pilihan kebijakan dan cara membangunnya juga.

Dalam penyelesaian masalah sosial dibalik reklamasi itu, apa yang sedang kita pertontonkan kepada generasi penerus, anak-anak muda kita? Generasi baru apa yang sedang kita siapkan?.

Sebab, kepemimpin juga soal perilaku para pemimpin. Inspirasi kata dan perbuatan.

Sumpah serapah seorang pemimpin, akan menjadi racun bagi dan merusak masyarakatnya. Proses yang buruk untuk tujuan yang baik, tak pernah diajarkan dalam pelajaran kepemimpinan "founding fathers" negeri ini.

Saya khawatir kita mulai melupakan sejarah lagi, tentang fakta pergesaran budaya maritim dan bahari sebagai budaya utama kita beberapa abad yang lalu.

Tercatat dalam sejarah Nusantara, kisah Sriwijaya, Singasari, Majapahit, Samudera Pasai, Banten, Demak, Goa dan Ternate adalah kisah kedigdayaan maritim dan semangat bahari yang surut seiring dengan kehilangan wawasan dan jiwa kebahariannya.

Surutnya peran dalam kawasan, seiring dengan memudarnya budaya dan jiwa bahari bangsa ini.

Apa artinya pertumbuhan ekonomi tinggi, pembangunan infrastruktur, peningkatan pendapatan per kapita, dan modernisasi daerah-daerah pesisir dan pinggir laut Nusantara bila yang hidup di atasnya mengabaikan proses pembangunan sosial-masyarakat sebagaimana dicita-citakan.

Saya mengamati, Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla sedang mengajak kita untuk kembali melihat sejarah dan mengangkat kembali harta karun bangsa ini, kekuatan maritim dan jiwa bahari.

Pada Pertemuan Puncak Asia Timur tahun 2014, Presiden Jokowi telah menegaskan kehendak politiknya yang juga dinyatakan dalam RPJMN 2014-2019, menyatakan budaya maritim merupakan salah satu pilar dari lima pilar Indonesia agar menjadi Poros Maritim Dunia kembali.

Kelima pilar itu adalah: Pertama, pembangunan kembali budaya maritim. Kedua, komitmen menjaga dan mengelola sumberdaya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama.

Ketiga, komitmen mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan laut dalam, logistik, dan industri perkapalan, serta pariwisata maritim.

Selanjutnya, pilar keempat adalah diplomasi maritim yang mengajak semua mitra Indonesia untuk bekerjasama pada bidang kelautan untuk menghilangkan sumber konflik di laut, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut.

Terakhir, pilar kelima, membangun kekuatan pertahanan maritim sebagai pengelola wilayah persilangan dua samudera besar.

Boleh jadi, rakyat perlu mengetahui terlebih dahulu visualisasi dan peta jalan masa depan pengelolaan perairan dan laut kita, termasuk informasi yang lengkap tentang rencana pengelolaan 17,508 pulau-pulau, 95.191 km garis pantai dan 6 Juta luas lautan Nusantara. Menurut PBB, data resmi Pulau-pulau Nusantara hanya 13.466 pulau, terutama yang sudah bernama.

Bagaimana visualisasi dan peta jalan Reklamasi DKI Jakarta dan daerah-daerah di sekitarnya? Apakah sudah menjadi master plan besar yang disetujui wakil-wakil Rakyat? Apa tanggung jawab Pemerintah Pusat agar masih-masih wilayah tidak kebablasan atas nama pembangunan.

Diam-diam, sejumlah wilayah perairan Tangerang dan Serang pun menjadi sasaran reklamasi itu. Para pelaku reklamasi telah memasarkan propertinya, meski IMB belum keluar, pembangunan tetap jalan. Di mana tanggung jawab aparat dan para pemberi izin itu?.

Kita merindukan praktik tata kelola penyelenggara negara dengan akuntabilitasnya. Kita percaya Negara, namun tak percaya pada para penguasa perusak yang berselingkuh dengan pengusaha hitam. Diam-diam menguasai wilayah atas nama pembangunan.

Kepemimpinan Bahari
Soal jiwa dan budaya bahari yang ingin kita bangun, saya ingin mengutip ciri Kepemimpinan Bahari yang menggambarkan pola hubungan nakhoda dengan anak-buahnya, yang tak semata-mata bersifat komando, melainkan juga hubungan kekeluargaan dan kemitraan.

Menurut tulisan lontar Amanna Gappa, seorang Ketua Adat di Sulawesi Selatan, kepemimpinan dengan jiwa dan budaya bahari itu berciri:

Pertama, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seorang nakhoda harus kuat imannya, atasannya hanya Allah SWT, terus berserah diri sembari memimpin bahteranya dalam mengatasi badai dan terpaan gelombang untuk sampai pada tujuan. Tauhid adalah sumber inspirasinya.

Kedua, memiliki tujuan dan haluan yang jelas. Tugas nakhoda juga menentukan dan terus mengomunikasikan haluan atau tujuan perjalanan dengan efektif.

Ketiga, melihat ke depan dan menarik pelajaran dari masa lalu. Masa lalu penting sebagai pelajaran, terutama pengalaman pelayaran masa lalu untuk kebaikan perjalanan selanjutnya, terutama untuk mengantisipasi rute yang lebih baik dan perubahan cuaca yang tak diinginkan.

Keempat, selalu waspada, berani dan bertanggungjwab. Perubahan cuaca, kerusakan kapal dan peralatan, dan kemungkinan yang tak diharapkan bisa terjadi setiap waktu, termasuk ketidakpastian, turbulensi, kekerasan alam.

Ia bertanggung jawab atas kapal, anak buah dan muatannya. Pemimpin yang sering menyalahkan orang lain bukan pemimpin berjiwa dan berbudaya bahari.

Kelima, bersikap dan berpikir luwes. Mampu luwes dan fleksibel dalam menghadapi turbulensi dan perubahan cuaca dan lingkungan, demi sampai pada tujuan. Di laut, semua bergerak dan menjadi sahabat perjalanan; angin, awan, ombak yang terus bergerak, bahkan makhluk-makhluk hidup lainnya. Tanda-tanda bintang juga menjadi sahabat yang bisa memandu perjalanan.

Keenam, berpikir menyeluruh. Seorang nakhoda memahami pergeseran angin barat dan timur, sebab lautan terhubung. Ia tidak parsial atau sektoral, tetapi utuh, menyeluruh, komprehensif, sistemik dan integral.

Ketujuh, Mengutamakan keselamatan kapal dan anak buahnya. Seorang nakhoda yang baik adalah orang terakhir di kapal saat bahaya tiba, ia bisa mengambil keputusan untuk mengeluarkan perlengkapan-perlengkapan yang tak diperlukan (jetison) demi keselamatan kapal dan anak buahnya.

Kedelapan, mengayomi anak buah dan keluarganya. Nakhoda merasa bertanggung jawab bukan semata-mata pada anak buahnya melainkan juga pada keluarga yang ditinggal berlayar. Mereka berhubungan bagaikan keluarga yang besar.

Kesembilan, persaudaraan sesama pelaut. Di laut semua orang sepanjang mengikuti konvensi yang berlaku, adalah bersaudara dan saling tolong-menolong, tanpa membedakan bangsa dan keyakinan.

Setiap kapal wajib menolong kapal lain yang sedang berada dalam bahaya atau orang yang ditemukan terapung di laut. Persaudaraan di laut adalah salah satu ciri kepemimpinan bahari.

Sekarang, Anda tinggal membandingkan apakah kita sedang membangun kembali jiwa dan budaya bahari itu dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial dan kemasyarakatan atau sebaliknya sedang menghancurkannya?.

Sebab, kepemimpinan bukan soal apa yang sedang dibangun semata, melainkan juga bagaimana memperjuangkannya, membangunnya. Sebagaimana contoh-contoh pemimpin besar negeri ini yang telah menguatkan modal sosial kita, sehingga NKRI tetap tegak berdiri saat kawasan-kawasan lain sedang menghadapi ancaman disintegrasi.

Tema tulisan ini saya pikirkan bersama keluarga saat melintasi jalan tol JORR W2 wilayah Jakarta Barat akhir pekan lalu.

Sejak krisis ekonomi tahun 1998, pembangunan JORR berhenti dan tak bisa tersambung lantaran warga menolak pembebasan lahan, selain soal kepastian anggaran.

Pembangunan W2 kemudian bisa berlanjut, saat Gubernur DKI kala itu dengan rendah hati mengunjungi warga yang menolak dengan baik-baik. Ternyata masalahnya sederhana; membangun "trust" dan miskomunikasi yang telah berlangsung puluhan tahun.

Soal cara dan kerendah-hatian penting, selain jaminan integritas sang pemimpin agar tak ada kepentingan pribadi di sana.

Jiwa dan kepemimpinan bahari sang nakhoda rasanya relevan bagi kita dalam memimpin berbagai simpul perubahan pada bangsa ini, meski di antara Anda boleh jadi ada yang sedang bekerja di tengah kesunyian.

*) Penulis adalah Direktur Utama Perum LKBN ANTARA 2007-2012. Twitter: @mukhlisyusuf

Oleh Ahmad Mukhlis Yusuf*)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016