Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) mengatakan tekanan ekonomi pada 2015 menekankan pentingnya keberlanjutan reformasi struktural ekonomi, karena bukan hanya pertumbuhan yang dituju tapi juga stabilitas dan penyebaran manfaatnya.

"Pelajaran di 2015 menekankan pentingnya reformasi struktural dan diversifikasi sumber pertumbuhan ekonomi dengan hilirisasi," kata Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo dalam peluncuran Laporan Perekonomian Indonesia 2015 di Jakarta, Kamis.

Laporan Perekonomian Indonesia 2015 itu berisi kajian menyeluruh kondisi ekonomi domestik, yang hampir sepanjang tahun dibayangi dampak negatif perlambatan ekonomi global, dan juga ketidakpastian kebijakan moneter negara-negara maju, yang telah memicu pelarian modal asing.

Turut hadir dalam peluncuran laporan itu Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D. Hadad, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Rosan Roeslani, serta sejumlah pengamat ekonomi seperti Raden Pardede, Anggito Abimanyu dan Joshua Pardede.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia 2015 yang sebesar 4,8 persen (year on year/yoy) dipandang BI tidak terlalu buruk, terlebih kinerja pada triwulan IV 2015 menunjukkan awal pemulihan dengan pertumbuhan ekonomi 5,01 persen.

Agus memandang dua pelajaran penting yang dapat dipetik dari 2015, selain reformasi struktural, adalah sinergi kebijakan antara BI, pemerintah dan pemangku kepentingan lain seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Menurut Agus, reformasi struktural harus dilanjutkan terutama untuk perbaikan kinerja ekspor, pemulihan industri manufaktur dan juga pendalaman di pasar keuangan.

Agus menitikberatkan pentingnya perpindahan komoditas andalan ekspor dari yang berbasis sumber daya alam, menjadi komoditas bernilai tambah. Terlalu bergantungnya pada komoditas berbasis bahan mentah dari sumber daya alam, telah menurunkan ketahanan ekonomi terutama sektor riil, ketika negara mitra dagang seperti Tiongkok terjun ke fase ekonomi yang lambat.

Alhasil konsumsi swasta melambat, yang berdampak pada meningkatnya pengangguran dan juga tingkat kemiskinan.

"Sedangkan dalam industri, ketergantungan ke bahan impor, membuat dunia usaha kurang bisa mengoptimalkan penurunan kurs rupiah untuk menggenjot ekspor," kata Agus.

Sementara masih dangkalnya pasar keuangan domestik membuat pemerintah dan swasta kerap mengandalkan utang luar negeri, padahal kondisi nilai tukar rupiah sangat rentan dengan fluktuasi perekonomian global.

Pada 2015, tingkat volatilitas kurs rupiah terhadap mata uang asing menembus 11 persen. Sementara BI pada tahun ini ingin menjaga agar volatilitas kurs tidak lebih dari 10 persen.

Agus juga menekankan pentingnya sinergi dan koordinasi dengan pemerintah untuk menghindari kebijakan yang tidak tepat, tumpang tindih dan kontradiktif.

Di 2015, dia mencontohkan delapan paket kebijakan pemerintah telah dilengkapi stimulus pelonggaran makroprudensial dan pelonggaran kebijakan moneter oleh BI.

Pelonggaran makroprudensial itu adalah kenaikan syarat LTV sehingga menurunkan bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR), yang ditujukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Maklum, di tiga triwulan pertama pada 2015, konsumsi masyarakat turun, bahkan melorot di bawah tren 5,0 persen.

Sedangkan pelonggaran kebijakan moneter adalah kebijakan BI untuk menurunkan bunga Giro Wajib Minimum Primer pada Desember 2015, yang ditujukan untuk menaikkan likuiditas perbankan sehingga berdampak pada ekspansi penyaluran kredit.

BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada 2016 akan berada pada rentang 5,2-5,6 persen. Sedangkan pemerintah berada sesuai radar BI dengan menargetkan pertumbuhan ekonomi di 5,3 persen.

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016