Yang saya ingat hanya hutan, pohon-pohon, dan melintasi laut ketika pindah dari suatu pulau ke pulau lain. Dalam kondisi itu kami tetap ditodong dengan senjata oleh pengawal sekitar 10 orang.
Segerombolan orang tak dikenal memakai penutup wajah dengan senjata api laras panjang jenis M-16 tiba-tiba menaiki kapal tunda Brahma 12 yang berlayar di perairan Tawi-tawi Filipina Selatan.

Tidak ada seorang pun dari 12 awak kapal itu yang menduga mereka akan disergap oleh gerombolan bersenjata Abbu Sayyaf.

Belum hilang kekagetan mereka seluruh awak kapal dikumpulkan secara paksa.

"Kami sempat bingung, karena tidak satupun yang mengerti bahasa Tagalog, akhirnya salah seorang pria dengan penutup wajah berbicara menggunakan bahasa Inggris," ujar Wendi Rahadian salah seorang warga Padang yang menjadi juru masak di kapal itu.

Ia mengira kapal tak dikenal yang meluncur cepat tersebut hanya milik nelayan, namun begitu mendekat suasana langsung mencekam karena yang datang adalah gerombolan bersenjata.

Setelah mengumpulkan seluruh awak kapal, tamu tak diundang itu membawa Wendi serta awak lainnya ke sebuah pulau dengan menaiki kapal. Jarak antara kapalnya dengan pulau tersebut menempuh waktu sekitar empat jam perjalanan.

Sementara anggota gerombolan lainnya memutus tali antara kapal tunda Brahma 12, dengan tongkang Anand 12, yang saat itu mengangkut sekitar 7.000 ton batu bara.

"Kapal tongkang itu sampai sekarang tidak diketahui di mana lokasinya. Karena setelah talinya diputus, mereka biarkan begitu saja," katanya.

Sesampainya di pulau, Wendi mulai menjalani hari-harinya sebagai seorang sandera. Ia digiring berjalan kaki menuju hutan di bawah todongan senapan.

Malam dilewati oleh Wendi bersama rekan-rekannya dengan tidur beralaskan tanah, tanpa selimut, dan tangan sebagai bantal. Sementara siang hari ia habiskan waktu pada satu titik yang telah ditentukan oleh penyandera.

"Kadang siang hari itu kami hanya tidur, atau duduk-duduk dengan perasaan cemas. Selama disandera itu saya hanya mempunyai dua helai baju," ujarnya.

Meskipun demikian, Wendi mengungkapkan dirinya tidak pernah menerima tindakan kekerasan, atau mendengar bunyi senjata yang ditembakkan.

Sedangkan untuk makan, para sandera tetap diberi makan nasi dengan jadwal yang ditentukan oleh perompak.

"Kadang ada tiga hari sekali, kadang dua kali. Porsi makannya juga secukupnya," kata pria yang menurut sang ibu Azmizar (53), saat ini terlihat kurus setelah kembali ke Padang.

Anak pertama dari tujuh bersaudara itu, juga menyampaikan kisah dalam penyanderaan saat menunaikan ibadah shalat, dan meminta rokok.

Saat melakukan ibadah, beberapa kali ia dan beberapa temannya pernah menunaikan shalat secara berjamaah dengan perompak tersebut.

"Kalau untuk minta rokok, biasanya menunggu salah satu di antara kami yang berani untuk meminta pada salah seorang perompak. Setelah diberikan, baru secara bersama-sama yang lainnya datang, dan ikut meminta juga," tuturnya.

Selama satu bulan masa penyanderaan, Wendi tak bisa mengingat tempat-tempat yang pernah disinggahi, karena perompak tersebut memilih tempat sesuai dengan kondisi yang dinilai aman.

Ketika pada suatu tempat dinilai tidak aman, maka akan dipindahkan ke tempat lain di pulau yang sama. Beberapa kali Wendi juga pernah pindah dari satu pulau ke pulau yang lain.

"Yang saya ingat hanya hutan, pohon-pohon, dan melintasi laut ketika pindah dari suatu pulau ke pulau lain. Dalam kondisi itu kami tetap ditodong dengan senjata oleh pengawal sekitar 10 orang," kata Wendi.

Dalam kurun waktu satu bulan itu, ia juga tidak mengetahui berapa jumlah keseluruhan orang yang menyanderanya. Karena selain memakai penutup wajah, orang-orang tersebut pada siang hari juga berpencar. Sehingga tinggal sekitar 10 orang yang bertugas menjaga sandera.

Dari serangkaian kejadian yang telah dialami, Wendi mengaku tidak mempunyai niat untuk berhenti melaut. Ia berencana ketika kondisi tubuhnya telah pulih, akan kembali bekerja di kapal seperti semula.

Kedatangan Wendi di Pangkalan TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusuma Jakarta pada 1 Mei 2016 menjadi kabar baik yang telah dinantikan oleh keluarga sejak satu bulan terakhir.

Sang ibu Azmizar, sempat histeris melihat gambar anaknya di balik layar kaca. "Itu anak saya, itu anak saya. Dia tampak kurus," katanya saat itu.

Semua perasaan dan beban pemikiran yang dimiliki keluarga selama satu bulan terakhir, akhirnya berubah menjadi rasa syukur.

Ketika tiba di Bandara Internasional Minangkabau pada 3 Mei 2016, Azmizar, beserta suaminya Aidil (55), memeluk langsung anak sulungnya.

Kedatangan Wendi pagi itu disambut Wali Kota Padang Mahyeldi, Wakil Wali Kota Padang Emzalmi, dan Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit.

Dari bandara itu, ia langsung di bawa ke rumah orang tuanya di RT 01, RW 01, Jalan Doktor Mohammad Hatta, Kelurahan Pasar Ambacang, Kecamatan Pauh, Kota Padang, Sumatera Barat.

Para kerabat serta keluarga yang menerima kabar kepulangan Wendi itu, langsung berdatangan. Wendi diberondong dengan pertanyaan kerabat serta tamu lain yang ingin mendengarkan cerita darinya secara langsung.

Wali Kota Padang Mahyeldi mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pembebasan Wendi dan sandera lainnya.

Berkat kerja sama dengan semua pihak akhirnya Wendi dan awak kapal lainnya bebas, ujar dia.

Hingga saat ini Wendi mengaku tidak mengetahui sama sekali bagaimana proses yang dilakukan untuk pembebasan dirinya.

Yang dia tahu diantar menggunakan sebuah kapal, dan kemudian dinaikkan ke atas truk, hingga akhirnya bertemu dengan gubernur.

Dengan rasa syukur kini Wendi memulai hidup baru dan tetap akan memilih profesi sebagai pelaut setelah kondisinya pulih karena itu merupakan panggilan hatinya.

Oleh Ikhwan Wahyudi dan Fathul Abdi
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016