Kalau Indonesia tak bisa menangani limbah plastik, akan berpengaruh pada perubahan iklim dunia,"
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Yayasan Peduli Bumi Indonesia Ananda Mustajab Latif menyarankan pemerintah membangun bank sampah untuk mengatasi persoalan sampah yang tidak mudah diurai oleh tanah.

Tampil sebagai pembicara dalam diskusi kelompok terarah (FGD) perubahan iklim bertajuk "Permasalahan dan Solusi" di Kantor Menpora, Jakarta, Rabu, Ananda mengatakan bahwa saat ini Indonesia menjadi negara kedua di dunia yang bergantung pada plastik.

"Kalau Indonesia tak bisa menangani limbah plastik, akan berpengaruh pada perubahan iklim dunia," kata Ananda dalam diskusi yang diprakarsai Staf Ahli Menpora Bidang Politik Yuni Poerwanti itu .

Namun, lanjutnya, kalau pemerintah sudah memiliki bank sampah, maka limbah plastik bukan masalah lagi, sebagaimana di sejumlah negara Eropa.

"Di Eropa, limbah plastik bisa diurai dalam waktu singkat melalui bank sampah. Indonesia juga seharusnya segera membuat bank sampah yang tanggung jawabnya langsung ke Presiden," tukasnya.

Pada kesempatan itu Ananda juga mengkritik kebijakan pemerintah soal kantong plastik berbayar yang dinilainya terlalu kecil pengaruhnya dan salah sasaran karena yang menjadi sasaran justru plastik yang mudah diurai oleh tanah.

Menurut dia, plastik yang ada di pasar tradisional, jumlahnya sekitar 70 persen, adalah plastik yang sulit diurai sehingga seharusnya masuk dalam kebijakan pemerintah itu.

Apalagi, jenis plastik lainnya yang jelas-jelas sulit diurai, seperti plastik untuk gelas minum dan styrofoam, justru beredar luas di pasaran.

"Plastik yang susah diurai justru plastik gelas, styrofoam, dan lain-lain. Plastik jenis itu yang justru berbahaya. Kalau mau ekstrem, stop saja impor plastik," tegasnya.


Tak lanjutkan

Sementara itu Utusan Khusus Presiden Bidang Pengendalian Perubahan Iklim (UKP-PPI) Hilyatun Zakiyah meminta generasi muda tak melanjutkan gaya hidup para pendahulunya.

"Generasi muda harus memilih, apakah ingin mengikuti gaya hidup para pendahulu, membuat bumi semakin hancur atau menjalankan gaya hidup berkelanjutan," kata Lia, sapaan akrabnya.

Diakuinya, sangat sulit mengubah gaya hidup masyarakat Indonesia. Kalau para pendahulunya sudah bergantung pada plastik, maka penerusnya pun akan melakukan hal yang sama.

Sedangkan Staf Ahli Menpora Bidang Politik Yuni Poerwanti mengatakan, Indonesia merupakan bangsa yang besar yang memiliki banyak potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia.

"Itu hanya akan menjadi catatan sejarah jika pontesi tersebut disia-siakan bahkan dirusak untuk kepentingan individu atau kelompok semata," kata Yuni.

Saat ini kata dia, Indonesia masuk 10 besar negara yang berperan terhadap terjadinya pemanasan global.

"Ini bukanlah prestasi yang patut dibanggakan. Ini merupakan pekerjaan berat yang harus ditanggapi secara serius oleh seluruh elemen bangsa. Jika hal ini dibiarkan, maka bumi ini akan rusak," tandasnya seraya mengajak pemuda sebagai pelopor perubahan untuk berbuat sesuatu untuk menyelamatkan bumi.

Pemerintah melalui Kemenpora menanggapi perubahan iklim ini dengan serius melalui gerakan nasional penanaman pohon yang dilakukan dalam rangka peringatan Sumpah Pemuda Ke-87 tahun 2015 di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, yang mengangkat tema " Revolusi Mental untuk Kebangkitan Pemuda".

Hadir pada kesempatan itu antara lain perwakilan dari Kemendikbud, Kemenristek-Dikti, Kemenag, Kemen LHK, Pertamina Foundation.

"Ini merupakan bukti bahwa pemerintah bersama dunia usaha dan masyarakat duduk bersama untuk peduli menyelamatkan bumi dari perubahan iklim yang tak terkendali," katanya.

Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016