Johannesburg (ANTARA News) - Para pengunjuk rasa yang marah akibat perubahan batas-batas kota, yang dikhawatirkan dapat memperburuk pelayanan sosial mereka, membakar 13 unit sekolah di Provinsi Limpopo, wilayah utara Afrika Selatan, kata polisi.

Peristiwa tersebut terjadi di tengah meningkatnya ketegangan menjelang pemilihan kepala daerah pada Agustus mendatang.

Unjuk rasa terakhir dipicu oleh putusan pengadilan tinggi untuk mengalihkan beberapa distrik dari satu kota yurisdiksi ke kota lain, seperti dilaporkan Reuters.

Para pengunjuk rasa menyatakan bahwa perubahan tersebut membuat kualitas pelayanan sosial juga akan berubah, yang bisa jadi lebih buruk.

Sehubungan dengan pemilihan kepala daerah yang dijadwalkan berlangsung pada 3 Agustus, demonstrasi tentang sejumlah layanan mulai meningkatkan suhu politik, dan kemungkinan memburuk dalam beberapa bulan ke depan.

Polisi menyatakan bahwa para warga di distrik Vuwani dan daerah-daerah terdekat membakar kantor pos dan gedung pemerintahan lainnya pada Senin (2/5) dan Selasa (3/5) malam yang mengakibatkan kepulan asap di belakang gedung tersebut.

Sejumlah warga juga memasang penutup jalan menuju wilayah itu, kata juru bicara Kepolisian Limpopo Kolonel Malesela Ledwaba.

Para pengunjuk rasa mulai menggelar aksinya setelah Pengadilan Tinggi menguatkan keputusan Badan Demarkasi untuk memasukkan distrik itu, yang saat ini berada di bawah Kota Makhado, ke distrik Malamulele setelah warga mengajukan banding untuk menentang perubahan wilayah.

"Apa yang kami minta dari polisi bahwa mereka.... menyediakan lebih banyak tenaga kerja di wilayah tersebut dan memastikan bahwa infrastruktur publik dilindungi," kata kepala distrik Limpopo, Stanley Mathabhata, kepada saluran televisi lokal, eNCA.

Menteri Pendidikan Dasar Afrika Selatan Angie Motshekga mengatakan aksi pengunjuk rasa itu telah merusak upaya pemerintah untuk meningkatkan taraf pendidikan dan infrastrukturnya.

"Ini tidak hanya pemborosan atas dana para wajib pajak yang kehilangan infrastruktur berharga, melainkan juga tidak menghargai kerja keras masyarakat yang taat hukum," kata Motshekga dalam pernyataannya.

Sejumlah partai politik oposisi menganggap kemarahan warga tersebut sebagai bukti atas kegagalan pemerintahan dari partai Kongres Nasional Afrika (ANC) dalam memberikan pelayanan di negara tersebut.

ANC menyatakan bahwa pihaknya masih yang terbaik untuk memimpin negara tersebut setelah berhasil berkampanye melawan kekuasaan minoritas kulit putih di bawah apartheid, yang berakhir pada tahun 1994.

(Uu.M038)

Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2016