Pemain voli identik dengan tinggi badan yang di atas rata-rata untuk menunjang kemampuan smash keras kepada lawan. Namun, hal tersebut berlawanan dengan Tasya yang memiliki nama lengkap Wahida Muntaza.

Tasya pemain tim voli putri Jakarta Pertamina Energi (JPE) hanya memiliki tinggi 155 sentimeter. Apabila disejajarkan dengan kapten tim JPE Tom Logan yang merupakan pemain asing, tingginya sekitar sepinggang pemain itu, terlihat "jomplang".

Akan tetapi, soal kelincahan dan kemampuan menahan bola, Tasya memiliki persyaratan tersebut. Sebagai libero (pemain bertahan yang bisa bebas berdiri di posisi mana saja dalam lapangan voli), Tasya selalu menarik perhatian karena memang wajib tampil dengan kostum yang selalu berbeda serta lebih cerah daripada rekan satu timnya, layaknya seorang kiper dalam permainan sepak bola.

"Saya memang lahir dari keluarga yang menyukai voli sehingga selain hobi, saya juga ingin menekuni sebagai pemain voli profesional," kata siswi SMA Pasundan 1 Bandung tersebut.

Setiap tampil dalam tim, Tasya selalu terlihat paling energik. Dengan gaya rambut diikat ekor kudanya, dia selalu melompat-lompat kecil ke kiri dan kanan layaknya menari sebagai tanda siaga siap menerima serve bola dari lawan.

Dalam permainan, dia memang selalu kalah dalam bola-bola atas. Namun, kemampuan menahan bola dan menyiapkan bola untuk pola serangan terbilang cerdik dan tangkas. Sebagai pemain voli memang harus dituntut berpikir cepat dalam menyiapkan serangan karena bola tidak bisa terlalu lama berada di wilayah sendiri, harus cukup dengan tiga sentuhan.

Umpan-umpan yang diberikan kepada spiker juga harus pas "timing"-nya, tidak boleh sembarangan. Itulah yang menjadi tugas sebagai libero.

"Awalnya saya minder karena pendek, selalu kalah postur dengan pemain lain. Namun, ternyata pelatih melihat potensi saya sebagai libero sudah tepat sehingga mampu membuat saya lebih percaya diri," kata pemain termuda dalam ajang Proliga 2016.

Pemain berusia 17 tahun tersebut tampak lebih pendiam daripada rekan lainnya, baik dalam permainan maupun di luar lapangan. Hal itu dia akui karena masih merasa paling muda di antara lainnya.

"Pendiam karena kadang saya sering dimarahi kalau salah dalam memberi umpan. Jadi, lebih baik saya banyak belajar dahulu dari para pemain senior voli," kata pemain mungil kelahiran 29 Maret 1999 tersebut.

Sifat pemalu Tasya kadang sering merepotkan dirinya dalam mengembangkan permainan karena dia dianggap kurang komunikatif.

"Sering dimarahi gara-gara karena banyak diam, tapi, ya, bagaimana, aku ngrasa sudah bawaan," jawabnya sambil tersenyum.

Berkat penampilan gemilangnya, pelatih memercayakan posisi libero utama kepada Tasya, mengalahkan libero senior lainnya. Kepercayaan pelatih dibayar Tasya secara lunas dengan mengantarkan Jakarta Pertamina Energi memasuki babak final four dalam Proliga 2016, serta masih berkesempatan meraih juara dalam ajang voli profesional tersebut.

Pemain voli bernomor punggung 16 ini baru tahun pertama mengawali karier liga voli profesional di tim JPE. Sebelumnya, Tasya mengaku juga sering mengikuti voli pada turnamen daerah. Namun, dia menyatakan memiliki ambisi besar pada voli profesional.

"Saya ingin menjadi pemain andalan tim nasional voli, dan membawa prestasi terbaik. Begitu pula, di klub JPE. Semoga hal tersebut bisa tercapai," kata Tasya.

Ia mengaku saat ini masih fokus pada dunia voli, belum terpikirkan untuk memilih jurusan apa ketika kuliah kelak.

"Orang tua, sih, mendukung saya untuk fokus pada voli, dan hal itu sudah cukup bagi saya," katanya.

Pilihan Tasya tidak salah, pilihannya untuk fokus pada dunia voli memang ditunjang dari bakatnya dalam olahraga tim yang terdiri atas enam orang tersebut, kelincahan Tasya di lapangan bisa terlihat dari bagaimana kesigapan dia dalam menghalau bola smash lawan. Posturnya yang pendek juga menguntungkan untuk mengambil bola pendek dengan kemampuan "slide"-nya yang bagus.

Kemampuan dan bakat Tasya diamini oleh pelatih tim putri JPE Risco Herlambang.

"Tasya memiliki kemampuan hebat untuk pemain seusianya. Saya rasa masa depan timnas bukan tidak mungkin terbuka bagi dia," katanya.

Risco menaruh harapan cukup besar bagi Tasya karena seorang libero memang memiliki tugas tidak mudah.

"Libero itu memiliki beban berat, misalnya ada 10 operan bola bagus. Akan tetapi, ketika giliran ada satu saja bola yang mati, dia tetap akan disalahkan rekannya," kata Risco.

"Namun," lanjut dia, "saya melihat mental bagus itu ada pada Tasya."

Pewarta: Afut Syafril
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016