Jakarta (ANTARA News) - Entah berapa banyak pengungkapan kasus peredaran narkoba yang telah ditangani Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya), Mabes Polri maupun lembaga lain seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), TNI, serta Direktorat Jenderal Bea Cukai hingga saat ini.

Yang jelas Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan saat ini Indonesia telah masuk kategori status darurat narkoba sehingga tidak ada ampun bagi pelaku pengedar barang haram itu di Tanah Air.

Kekhawatiran dahsyatnya efek bahaya narkoba muncul ketika data menunjukkan 50 orang di Indonesia setiap hari meninggal dunia akibat mengonsumsi berbagai jenis narkotika.

Laporan Akhir Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba Tahun Anggaran 2014 menunjukkan jumlah penyalah guna narkoba diperkirakan mencapai 3,8 juta sampai 4,1 juta orang yang pernah memakai narkoba dalam setahun terakhir pada kelompok usia 10-59 tahun di tahun 2014 di Indonesia.

Artinya terdapat sekitar satu dari 44 sampai 48 orang berusia 10-59 tahun yang masih atau pernah pakai narkoba pada 2014.

BNN dan peneliti Pusat Penelitian Kesehatan (Puslitkes) Universitas Indonesia memperkirakan angka itu itu meningkat hingga 5,8 juta orang pada 2015.

Persoalan lainnya, para terpidana kasus narkoba bahkan bandar yang telah divonis mati masih dapat mengendalikan peredaran narkoba di lembaga pemasyarakatan (Lapas).

Faktor keterlibatan petugas lapas disinyalir yang membantu para terpidana mati itu bisa mengendalikan atau memerintahkan jaringannya menebar narkoba di Indonesia melalui telepon selular.

Jokowi berjanji tidak akan menoleransi atau memberikan pengampunan terhadap bandar besar narkoba yang dipidana mati karena merusak generasi bangsa.

Kejaksaan Agung (Kejagung) mencatat terdapat 151 terpidana mati kasus narkoba yang menunggu eksekusi setelah menempuh seluruh proses hukum yang dijalani, dari sekian terpidana mati itu di antaranya gembong narkoba tingkat internasional masih beraksi di dalam penjara.

Kepala BNN Komisaris Jenderal Polisi Budi Waseso mendukung Kejagung segera mengeksekusi para terpidana mati kasus narkoba yang telah menempuh jalur hukum terakhir.

"Semoga secepatnya terealisasikan," ujar pria yang biasa disapa Buwas itu.

Diungkapkan Buwas, tindak pidana narkoba merupakan aksi kejahatan luar biasa yang berpotensi merusak generasi muda yang mengisi masa depan negara.

Buwas menegaskan pemerintah harus mengambil kebijakan "ekstrim" untuk memerangi peredaran narkoba di Indonesia yang telah masuk golongan tanggap darurat.

Salah satu langkah ekstrim, yaitu menempatkan binatang buas seperti buaya di lapas yang ditempati para bandar narkoba.

Mantan kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri itu menuturkan lapas menjadi tempat aman bagi sindikat narkoba untuk meneruskan "usaha" gelap tersebut.

Buwas juga menyebutkan penanganan kasus narkoba bukan perkara mudah seiring dengan semakin menyebar luas peredarannya tanpa memandang usai pengguna dan lokasi penyebaran, serta perkembangan jenis narkobanya.

Narkoba dicurigai telah menyasar para penghuni pondok pesantren bahkan anak usia dini dengan modus membalut narkoba dalam kemasan permen, makanan ringan atau cokelat.

Persoalan rumit lainnya, keterlibatan aparat kepolisian maupun TNI yang kerap terlibat penggunaan maupun peredaran hingga "mengamankan" kasus tersangka narkoba.

Saat ini, BNN, Polri dan TNI gencar menggelar operasi terhadap anggota yang diduga terlibat menggunakan maupun melindungi peredaran narkoba.


Butuh Loyalitas

Mantan direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Eko Daniyanto mengungkapkan petugas harus mengamati pengedar narkoba selama berbulan-bulan guna memastikan informasi melalui teknik pengintaian, penyamaran hingga dilakukan penangkapan tersangka dan penyitaan barang bukti.

Eko menuturkan seorang anggota kepolisian yang menangani kasus narkoba harus memiliki loyalitas "lebih" karena karakter penyelidikan berbeda dibanding penanganan kasus pidana lain.

Salah satunya, Inspektur Dua Hanz Berlian tercatat telah bertugas selama 18 tahun sebagai anggota Ditresnarkoba Polda Metro Jaya yang memiliki pengalaman tidak pernah mendampingi istrinya saat melahirkan empat orang anaknya karena kesibukannya untuk mengintai, membuntuti dan menangkap bandara narkoba.

Suatu saat, Eko mengisahkan dirinya memaksa Ipda Hanz pulang ke rumah ketika bertugas mengintai dugaan penyelundupan lebih dari 520.000 butir ekstasi di sekitar perairan Kepulauan Seribu Jakarta Utara pada September 2015 lalu.

Eko mengizinkan Hanz pulang ke rumah untuk menengok istrinya sedang berjuang melahirkan anak keempatnya.

Dalam penanganan kasus narkoba, seorang anggota diuji untuk tahan terhadap segala kondisi dan situasi saat pengawasan dan pengintaian dilakukan terhadap terduga penyalahgunaan narkoba.

Polda Metro Jaya mencatat 23 personil menjalani proses hukum dan sidang kode etik profesi sepanjang 2015 karena terindikasi terlibat tindak pidana narkoba.

Pimpinan Polda Metro Jaya menyerukan penegakan hukum terhadap anggota kepolisian yang terbukti terlibat narkoba sesuai aturan dan tanpa "tebang" pilih.

Para anggota yang terlibat mulai dari pengguna hingga pengedar dengan proses pengungkapan tertangkap tangan dan pengembangan kasus.

Dari tangan oknum itu, petugas menyita barang bukti shabu, ekstasi dan alat hisap shabu (bong) yang diciduk di apartemen, rumah toko, kontrakan, pemukiman dan hotel.

Oleh taufik ridwan
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016