Jaffa, Israel (ANTARA News) - Seorang tentara Israel yang menembak dan membunuh seorang warga Palestina dalam keadaan terluka, pada Senin mulai disidang atas dakwaan pembunuhan dalam kasus langka terkait pengerahan kekuatan berlebihan dalam menghadapi serangan Palestina.

Mayoritas warga Israel tidak ingin pengadilan militer ambil bagian dalam kasus itu, demikian menurut jajak pendapat yang dilakukan tidak lama setelah sang tentara, Sersan Elor Azaria, ditangkap pada Maret lalu, lapor Reuters.

Para pejabat Palestina menjuluki kasus itu sebagai pembunuhan berdarah dingin.

Peristiwa yang terjadi di Kota Hebron, wilayah pendudukan Tepi Barat, tersebut terbongkar setelah ada video yang diambil saksi mata warga Palestina.

Video itu mempertontonkan Azaria menembak kepala penyerang yang tersungkur di tanah karena luka-lukanya setelah dia menusuk dan melukai tentara lain.

Hasil otopsi yang dilakukan oleh ahli patologi Israel dan Palestina menunjukkan bahwa peluru Azaria menewaskan korban tersebut.

Para pemimpin negara Palestina menuduh Israel melakukan pembunuhan rutin di luar jalur hukum sebagai upaya untuk meredakan insiden penusukan, penembakan, dan penabrakan mobil yang terjadi selama berbulan-bulan. Tuduhan Palestina itu dibantah oleh Israel.

Azaria, tenaga medis yang dikenai wajib militer, merupakan orang pertama yang aktif bertugas sebagai prajurit militer menghadapi proses pidana atas dakwaan penggunaan kekuatan yang bisa mematikan sejak kekerasan meletus pada bulan Oktober tahun lalu.

Namun, komandan militer Israel mendesak para prajuritnya menggunakan kekuatan yang terpercaya dan terukur menghadapi para penyerang setelah jajak pendapat menunjukkan bahwa 57 persen warga Israel percaya Azaria tidak akan ditahan.

Dua bulan yang lalu, setelah beberapa menteri sayap kanan di pemerintahan koalisinya memperingatkan untuk menentang acara persidangan, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengambil langkah yang tidak biasa dengan menelepon ayah sang prajurit untuk mengatakan, "Saya mengerti Anda menghadapi kesulitan" dan menjanjikan anaknya akan diperlakukan dengan adil.

Oditur militer menyatakan bahwa dengan tidak adanya bukti sebelumnya, mereka menetapkan dakwaan Azaria atas pembunuhan, bahkan pembantaian. Jika terbukti, dia akan dikenai hukuman 20 tahun penjara.

"Keadilan akan datang untuk menyinari," kata Binyamin Malka, salah satu pengacara Azaria, kepada sejumlah wartawan di ruang sidang militer di Jaffa, dekat Tel Aviv, saat prajurit itu dipeluk oleh ibunya sebelum diadili oleh tiga anggota majelis hakim.

Menurut pihak militer, Azaria kepada para penyelidik mengatakan bahwa dia percaya bahwa warga Palestina tersebut, meskipun pendiam, mungkin memiliki rompi bom bunuh diri dan dia masih membahayakan.

Sejak Oktober lalu, serangan Palestina menewaskan 28 warga Israel dan dua pendatang berkewarganegaraan Amerika Serikat.

Pasukan Israel membunuh sedikitnya 194 warga Palestina, sebanyak 133 di antaranya menurut Israel sebagai penyerang. Beberapa yang lainnya tewas tertembak dalam bentrokan dan unjuk rasa.

Beberapa faktor yang melatari kekerasan termasuk penderitaan warga Palestina atas terhentinya pembicaraan damai dan meningkatnya kegiatan pembangunan pemukiman oleh Israel. Situasi itu menambah akses kaum Yahudi untuk memperebutkan kota suci Jerusalem serta meningkatkan desakan yang dipimpin kalangan Islamis untuk menghancurkan Israel.

Namun, laju serangan telah menurun dan Israel menganggap penurunan bentrokan itu dicapai antara lain sebagai hasil kerja sama yang lebih erat dengan pasukan keamanan Palestina.
(Uu.M038/T008)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016