Timor kerap disebut sebagai "Pulau Buaya yang Sedang Tidur", setidaknya itulah salah satu kajian yang dipaparkan dalam buku "Citra Manusia Berbudaya: Sebuah Monografi tentang Timor dalam Perspektif Melanesia".

Sang penulis, Gregor Neonbasu, menceritakan mengenai mitos yang dituturkan oleh tradisi adat istiadat masyarakat Timor, yang ternyata memiliki banyak versi terkait dengan kisah buaya tidur tersebut.

Sesuai mitos, menurut Imam Katolik dan antropolog ini, pulau Timor dulunya adalah seekor budaya raksasa, dengan kepalanya di Kupang, mulutnya di Teluk Kupang, dan ekornya berada di Tutuala, ujung dari negara Timor Leste.

Dalam buku terbitan Perum LKBN Antara tahun 2016 itu, sejumlah cerita yang menuturkan detil terperinci mengenai mitos itu antara lain kisah mengenai dahulu terdapat buaya ajaib yang dipelihara oleh seorang nenek.

Sang buaya, yang dapat berbicara bahasa manusia, memiliki "ikatan biologis" dengan sang nenek karena terus diasuh setiap hari layaknya anak yang diasuh oleh sang ibunda.

Sayangnya, buaya tersebut juga wajib memakan manusia setiap tahunnya yang disediakan oleh kepala suku di mana mereka bertempat tinggal.

Suatu ketika, sang kepala suku lupa mempersembahkan kurban tahunan, sehingga buaya yang sudah kelaparan sampai harus menyantap sang nenek yang telah menjaganya selama ini.

Tindakan putus asa yang dilakukan oleh buaya yang sedang kelaparan itu, ternyata kemudian membuat sang buaya itu menjadi frustrasi dan akhirnya mati.

Bangkai dari buaya yang frustrasi dan mati itu adalah daratan yang kini disebut sebagai Pulau Timor, di mana ekornya ada di Lospalos (Timor Leste) dan mulutnya di kawasan Teluk Kupang (Timor Barat).

Versi lainnya yang lebih "cerah" adalah kisah mengenai seorang anak kecil yang suatu hari menemui seekor "buaya kecil" yang terdampar di sekitar tanah raya karena ditinggalkan oleh induknya.

Meski awalnya ketakutan, sang anak itu akhirnya membawa sang buaya kecil itu pulang dan mengasuhnya hingga dewasa, dan sepanjang waktu itu terciptalah persahabatan antara keduanya.

Sewaktu sang anak dan buaya telah menjadi besar dan sangat tua, maka keluarlah mereka dari lautan lalu menetap di sebuah pondok warisan si anak kecil yang juga sudah dewasa.

Pada suatu waktu, ketika buaya itu semakin bertambah tua dan saat sekarat, dia berpesan saat mati agar diubah menjadi sebuah tanah lapang yang indah. Seketika saat buaya itu hilang nyawanya, maka terbentuklah Pulau Timor, yang dihuni oleh keturunan si anak kecil tersebut.

Selain terkenal dengan sebutan pulau buaya, Timor juga terkenal sebagai pulau cendana karena komoditas itu (selain madu dan lilin) yang mengakibatkan banyaknya perhatian dari penjelajah bangsa Eropa pada saat era kolonial, seperti Tomes Pires dan Duarte Barbosa yang tertarik ke pulau Timor karena pohon cendana.

Bahkan, pohon cendana yang ditemukan pertama kali oleh kaum penjajah di Timor, di kemudian hari tersebar ke berbagai daerah lainnya seperti di Mysore India, Kepulauan Fiji, dan Australia Utara.

Kedua kisah mengenai buaya dan cendana itu juga menggambarkan keharmonisan warga Timor sebagai mikrokosmos, dengan alam raya pulau Timor yang merupakan makrokosmos dari tempat tinggal mereka.

Gregor menulis bahwa keharuman pulau Timor sebagai tempat yang layak dihuni, aspek yang sangat pokok tersebut sebetulnya tertuju langsung kepada itikad dan tekad warga masyarakat yang selalu terbuka untuk menerima setiap orang yang ingin menetap pada kawasan tersebut.

Ekologi-tradisi
Dalam buku tersebut juga ditekankan pentingnya faktor ekologi atau kondisi lingkungan hidup bagi masyarakat di Pulau Timor.

Manusia Timor dinyatakan selalu melihat segala sesuatu yang terjadi dalam alam raya sebagai bebas atau pantulan harmonisasi yang alamiah bagi kehidupan manusia.

Secara umum, ada tiga benda alami yang selalu menjadi landasan dan fondasi kehidupan orang Timor, yaitu air, batu, dan kayu, yang ketiganya selalu berperan utama dalam berbagai cara ritual dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat.

Air dianggap sebagai agen tinggal yang membawa proses pembersihan yang memerdekakan seseorang dari suatu persoalan hidup, batu memberi makna akan sesuatu yang mendukung dan menopang bagai dasar pijakan yang kokoh.

Sedangkan kayu atau pohon dilihat sebagai kekuatan yang meneguhkan semua usaha manusia pada berbagai lini kehidupan sehingga orang tersebut selalu berpikir pada pertumbuhan dan perkembangan ke masa depan.

Secara keseluruhan, masyarakat Timor memandang semua unsur ekologi sebagai percikan semua dimensi dari unsur kehidupan manusia yang turut mendukung dua unsur dasar utama dalam diri manusia.

Dua unsur fundamental itu adalah keberadaan manusia dan kepemilikan, sehingga tanpa ekologi yang baik dan teratur, maka mustahil manusia merefleksikan potensinya untuk hidup dengan lebih baik dan bermartabat.

Begitupun dengan masyarakat tradisional Timor, yang dinilai juga tidak bisa memisahkan kehidupan manusianya dengan peran utama Yang Ilahi, yang antara lain disimbolisasi pada keberadaan sebuah tiang bercabang dua pada sumber mata air dan tiang bercabang tiba di depan rumah adat.

Yang Ilahi dalam pemahaman orang Timor, tidak saja khusus karena keterbatasan bahasa dalam mengartikulasikan pengalaman spiritual masyarakat setempat, melainkan juga ungkapan maha luas akan kedalaman lautan religius masyarakat Timor yang ditempatkan dalam sistem ekologi maha dunia yang maha luas pula.

Sebagai budaya yang menekankan terhadap ekologi dan religius-spiritualitas yang saling terkait, masyarakat Timor juga, sebagaimana masyarakat lainnya di masa modern ini, juga kerap berhadapan dengan budaya globalisasi yang membuat manusia menjadi "terengah-engah" mengikutinya serta melupakan kebudayaan lokal.

Untuk itu, masyarakat Timor juga diharapkan memperhatikan pentingnya pemahaman yang benar agar kerangka pemahaman tidak goyah ditimpa berbagai perubahan dan perkembangan zaman serta terperangkap dalam konspirasi sosial yang terdapat di sela-sela arus globalisasi.

Fenomena perubahan
Apalagi, dalam lintasan sejarah Timor, juga kerap terjadi fenomena perubahan komposisi masyarakat, misalnya migrasi yang tidak terkontrol akibat perubahan iklim politik (mulai dari Prarevolusi hingga Revolusi Bunga 1975, deklarasi kemerdekaan Fretilin, Deklarasi Integrasi Bilbao, masa integrasi Indonesia 1975-1999, masa awal kemerdekaan bersama PBB dan pascapendampingan).

Perubahan struktur sosial yang tidak diantisipasi dengan baik, terutama dengan iklim politik praktis yang tidak tertata dengan baik, dinilai dapat meracuni manajemen ekonomi kemasyarakatan untuk mencipta kesejahteraan sosial yang lebih baik.

Di sisi lain, globalisasi yang deras juga menimbulkan kewaspadaan terkait bahaya kapitalisme yang hampir merasuki semua aspek kehidupan manusia, serta sikap oportunistik dalam dunia politik, ketika terjadi kompromi yang kelewat batas.

Untuk itu, masyarakat Timor juga dinilai membutuhkan strategi partisipatif di mana masing-masing warga harus berpihak pada kepentingan yang sama dalam rangka menciptakan komunitas hidup bersama yang lebih baik dan berorientasi ke depan.

Dalam buku setebal 520 halaman itu, juga dipaparkan secara komprehensif dan obyektif mengenai sejarah Timor Leste yang pernah menjadi bagian dari Republik Indonesia tetapi saat ini telah menjadi sebuah negara sendiri, serta kondisi masyarakat di daerah perbatasan yang masih belum sejahtera.

Karena itu, sang penulis yang menyelesaikan pendidikan doktoral dari Australian National University itu, mengusulkan agar diperhatikan dengan sungguh-sungguh relasi kekeluargaan antara kedua belah pihak, serta memantapkan kedaulatan wilayah dan mengamankan aspek-aspek strategis dan sumber daya alam yang dimiliki kedua negara.

Sementara dalam kaitannya dengan kearifan lokal, model pembangunan juga hendaknya memberi hati kepada kearifan lokal agar masyarakat dapat tergerak hatinya untuk ikut mengambil bagian secara aktif dalam berbagai kegiatan pembangunan.

Dengan demikian, dinamika pembangunan di kawasan Timor hendaknya menyentuh jati diri masyarakat setempat, dengan memberi respek terhadap tradisi-tradisi lisan yang adalah warisan berharga lelulur yang dilihat sebagai bagian integral baik dalam kehidupan masyarakat kini maupun nanti.

Buku "Citra Manusia Berbudaya" itu menampilkan paparan filosofis dan kerangka pemahaman mendasar dari tradisi Timor yang merupakan salah satu aspek dalam antropologi yang memang kerap dijajaki untuk mengetahui pemahaman sebuah masyarakat secara lengkap.

Dengan menggunakan pendekatan emik (paparan dari tradisi atau masyarakat adat itu sendiri) yang diperkokoh dengan pendekatan etik (kerangka teori dalam ilmu pengetahuan), maka didapat sebuah gambaran tunggal tentang budaya Timor yang holistik.

Namun, penggunaan kata-kata yang bernuansa akademis dan tanpa disertai contoh yang konkret di berbagai tempat juga berpotensi membuat buku ini kehilangan nuansa populernya yang bisa membuat banyak orang tertarik untuk membaca suatu karya sastra.

Rohaniwan-budayawan Franz Magnis-Suseno dalam prolog dalam buku tersebut juga menyatakan, karya Gregor Neonbasu tentang budaya di pulau Timor ini merupakan sumbangan penting bagi pustaka tentang apa dan siapa itu bangsa Indonesia.

Hal itu, menurut Franz Magnis-Suseno, karena sejumlah pihak ada yang beranggapan bahwa seakan-akan Indonesia "habis di sebelah timur Bali", padahal justru di pulau-pulau menengah dan kecil Indonesia Timur itulah hidup ratusan etnik dan budaya bangsa Indonesia yang justru membulatkan kekayaan kultural bangsa Indonesia.

Oleh Muhammad Razi Rahman
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016