Desa Nyambu yang berada di antara dua sungai besar, di tengah hamparan sawah nan hijau di Kabupaten Tabanan, merupakan salah satu saksi sejarah penyebaran ajaran Hindu di Bali.

Warga desa yang berada sekitar 21 kilometer dari Denpasar itu percaya, dulu ada seorang pendeta dari Kerajaan Majapahit yang datang ke desa mereka untuk menyebarkan ajaran Hindu.

Pendeta Dang Hyang Nirartha tiba di Nyambu pada abad ke-15. Tapak kakinya tercetak pada suatu prasasti batu yang tersimpan di Pura Dhang Kahyangan Rsi di Mundeh, salah satu desa adat di Nyambu.

"Dulu terjadi wabah karena penduduk belum memahami apa yang harus mereka lakukan untuk memuja Tuhan," kata I Wayan Gede Eka Sudiarta, warga Desa Nyambu.

Pria yang akrab dipanggil Satya itu mengatakan tidak banyak warga desa, terutama kaum muda, yang mengetahui sejarah desa itu sebelum mereka mulai menelusuri naskah-naskah kuno yang ditulis di daun lontar.

"Kami mendatangi para tetua untuk mengetahui sejarah-sejarah pura, kemudian disempurnakan oleh ahli sejarah yang bisa membaca lontar," kata Satya.


Paket Ekowisata


Setelah pemetaan sejarah dan potensi desa selama 18 bulan, Pemerintah Kabupaten Tabanan pada April 2016 meluncurkan paket Desa Wisata Ekologis Nyambu.

Dengan biaya Rp750.000 bagi turis asing, dan separuhnya untuk wisatawan lokal, pengunjung bisa napak tilas sejarah Bali sambil menyusuri persawahan hijau dengan panduan seorang krama.

Selama menyusuri persawahan, krama Desa Wisata Ekologis seperti Ni Luh Dewi Darmini akan menuturkan asal muasal sawah di Desa Nyambu serta bagaimana penduduk setempat mempertahankan sawah dengan menerapkan sistem subak.

Mengenakan kain Bali, Dewi lincah menyusuri pematang sawah Nyambu yang berundak-undak dan terkadang bertanah gembur. Beberapa petani tampak sibuk memanen padi.

"Dalam setahun, kami bisa dua kali panen padi dan satu kali panen tanaman palawija," kata Dewi.

Sawah terasering di Nyambu pun masih menggunakan sistem irigasi tradisional subak, yang telah diakui sebagai salah satu situs warisan dunia oleh UNESCO pada 2012.

Ada sedikitnya 1.200 organisasi subak di Bali, dan semua petani Bali harus menjadi anggotanya agar sawahnya mendapatkan air irigasi, kata Dewi.

Bagi orang Bali, sawah bukan hanya tempat mencari penghidupan namun juga sarana mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Di tengah hamparan sawah di Nyambu ada satu pura kecil, di mana penduduk setempat menaruh banten, wadah sesaji dari janur, untuk melakukan sembahyang.

Di pematang sawah-sawahnya tersebar sejumlah pelinggih, tugu batu setinggi kurang lebih satu setengah meter. Setiap batu itu merupakan tempat pemujaan sekaligus tanda batas kepemilikan sawah.

Setelah berpeluh menyusuri pematang sawah, wisatawan diundang untuk menyantap kuliner khas setempat seperti sayur daun kelor, garang asam ayam, belindung (belut) goreng atau pun sate tuna lilit dan sambal matah.

Selain itu, para krama akan mengajarkan cara membuat jajanan lokal seperti jaja matahari dan jaja sirat dari campuran tepung beras dan gula merah, serta membuat banten dari janur yang digunakan sebagai sarana persembahan kepada alam dan Sang Pencipta.


Menyusuri Masa Lalu

Warga Nyambu menjaga warisan leluhur mereka dengan baik, termasuk 67 pura yang dibangun mulai abad delapan pada zaman Kerajaan Kediri hingga abad ke-13 pada zaman Kerajaan Majapahit.

Pura-pura itu tersebar di enam banjar di Desa seluas 380 hektare. Tiga banjar berada di Desa Adat Mundah, sementara tiga lainnya masuk kawasan Desa Adat Kaba-Kaba.

Dengan menyusuri banjar atau dusun-dusun tertua di Nyambu, para wisatawan diajak menyusuri lembar demi lembar sejarah Bali.

Ditemani oleh para krama seperti Satya, para pengunjung melacak jalur perjalanan Dang Hyang Nirartha, guru spiritual yang mengunjungi Nyambu untuk menyebarkan ajaran Hindu pada zaman keemasan Majapahit.

Pura-pura yang dipengaruhi ajaran Empu Kuturan tersebar hampir di setiap sudut Desa Nyambu, suatu desa yang sangat kental dengan pengaruh ajaran Hindu.

Menurut Sugi Lanus, peneliti lontar dan prasasti, Empu Kuturan mempunyai pengaruh besar terhadap sejarah Bali.

Ada sejumlah Empu Kuturan yang datang dari Jawa Timur ke Bali pada zaman pemerintahan Airlngga.

Empu Kuturan yang berkedudukan di Silayukti (Desa Padangbai - Pelabuhan sekarang) mendapat penghormatan besar dari rakyat Bali pada masanya. Bahkan Raja Marakata dan Anakwungsu memberi dia kedudukan yang penting di pemerintahan, kata Sugi.

"Beliau disebutkan telah mengajarkan penataan desa dan kawasan serta mengajarkan konsep Tri Kahyangan (Tiga Pura Peribadatan) yang diwajibkan ada di sebuah desa," kata Sugi.

Setelah berjalan kaki atau bersepeda menyusuri Nyambu dan mengenal sejarahnya, para wisatawan bisa menghabiskan sore dengan belajar melukis senja dan persawahan dari seniman setempat di temani jajanan khas dan kopi Bali.

Oleh Aditya E.S. Wicaksono
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016