Warga Tionghoa di Malaysia dapat berbahasa Melayu. Mereka tidak butuh saya. Di Indonesia, masih sedikit orang yang bisa belajar bahasa Mandarin
Kunshan, China (ANTARA News) - Komunikasi antara dua warga negara berbeda lazimnya menggunakan salah satu bahasa negara itu atau berbahasa Inggris.

Lalu bagaimana jika dua warga negara itu tidak saling paham bahasa lawan bicara atau bahasa Inggris?

Kendala bahasa sering muncul saat para jurnalis dari Indonesia, berkomunikasi dengan warga Kunshan, Jiangsu, China, untuk meliput turnamen final Piala Thomas dan Uber 2016.

Hingga Selasa ini,"kuli tinta" asal Indonesia yang seringkali harus berinteraksi dengan warga lokal untuk mencari tempat makan, sarana transportasi, maupun lokasi stadion, merasakan hambatan komunikasi karena sebagian besar warga Kunshan tidak dapat berbahasa Inggris sebagai bahasa internasional.

Setidaknya wartawan Indonesia dapat bersyukur jika sudah sampai Stadion Bulu Tangkis Kunshan, lokasi turnamen Piala Thomas-Uber 2016. Panitia penyelenggara menugaskan seorang mahasiswa dari Beijing sebagai penghubung komunikasi yang memahami bahasa Melayu selain bahasa Inggris.

"Saya sedang menyelesaikan kuliah di jurusan Bahasa Melayu di Beijing Foreign Studies University," kata Wen Jie kepada Antara.

Pria berusia 23 tahun itu mengaku tertarik belajar bahasa Indonesia setelah mengetahui perbedaannya dengan bahasa Melayu selama empat tahun berkuliah. Di kampusnya, jurusan bahasa Melayu sekaligus mengajarkan Bahasa Indonesia karena kedua bahasa itu punya banyak kemiripan dari kosakata maupun pengucapan.

"Tapi, ada perbedaan lafal antara bahasa Melayu dengan Bahasa Indonesia. Bahasa Melayu lebih banyak memakai akhiran e, sedangkan bahasa Indonesia seringkali diakhiri lafal a," kata mahasiswa asal Kota Changsa Provinsi Hunan itu.

Wen mengatakan orang-orang Malaysia seringkali mencampur kosakata Melayu dengan bahasa Inggris yang justru menyulitkannya mempelajari bahasa Melayu.

"Orang Indonesia tidak mencampur bahasanya dengan bahasa Inggris. Ada beberapa kata yang mirip dengan kata bahasa Inggris, tapi itu sudah diadaptasi," katanya.

Mahasiswa strata satu itu menjelaskan potensi belajar bahasa Indonesia bagi warga China dalam dunia kerja.

"Warga Tionghoa di Malaysia dapat berbahasa Melayu. Mereka tidak butuh saya. Di Indonesia, masih sedikit orang yang bisa belajar bahasa Mandarin," ujar Wen.

Wen berharap punya kesempatan bekerja di Malaysia dan Indonesia untuk beberapa tahun sebelum menetap bekerja di Beijing.

"Dua negara itu punya kebudayaan dan tempat-tempat yang menarik. Mereka yang datang ke Tiongkok juga ramah," ujar mahasiswa yang menyelesaikan skripsi berjudul "Kebudayaan Kelompok Tiongkok di Malaysia" itu.



Toni

Pria yang ingin dipanggil dengan nama Toni itu mengatakan ada dua sukarelawan lain dalam turnamen final Piala Thomas dan Uber 2014 yang dapat berbahasa Melayu dan Indonesia. Dua orang itu bertugas mengikuti kontingen Indonesia sepanjang penyelenggaraan turnamen.

"Orang Tiongkok daratan memang tidak memakai nama asing dan hanya punya satu nama. Berbeda dengan orang Hong Kong ataupun Makau. Saya ingin orang asing lebih akrab dengan saya, maka saya punya panggilan Toni," ujarnya.

Toni mengatakan China memiliki 56 etnis dengan kebudayaan dan adat yang berbeda. Tapi, etnis terbesar di China adalah Han.

Toni mengaku bertugas membantu para jurnalis dari Malaysia dan Indonesia selama turnamen berlangsung, 15-22 Mei, di Kunshan.

"Saya melamar untuk menjadi sukarelawan setelah melihat pengumuman di Internet. Saya tinggal menyelesaikan skripsi di kampus dan lulus. Di China, calon mahasiswa memang harus berjuang untuk dapat kursi di perguruan tinggi. Tapi, mereka akan lulus dengan mudah," kata Wen alias Toni itu.

Oleh Imam Santoso
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2016