London (ANTARA News) - Virus Zika, penyebab cacat parah pada bayi, dapat menyebar ke Eropa saat cuaca menghangat, kata Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada Rabu.

Meski demikian, WHO juga menjelaskan bahwa ancaman penyebaran Zika di Eropa masih kecil hingga moderat. Wilayah tempat nyamuk Aedes --penyebar virus Zika-- banyak menyebar adalah Pulau Madeira dan pantai utara Laut Hitam.

"Ada ancaman penyebaran virus Zika di wilayah Eropa dan itu beragam di antara negara satu dengan yang lain," kata Zsuzsanna Jakab, direktur kawasan WHO untuk Eropa.

"Kami mendesak negara berpeluang besar terkena Zika memeperkuat kemampuan dan mengutamakan pencegahan wabah Zika," kata dia.

WHO di Eropa beroperasi di 53 negara--dari Laut Arctic di utara sampai Laut Tengah di selatan, dan Samudra Atlantic di barat sampai Samudra Pasifik di timur--dengan populasi hampir mencapai 900 juta jiwa.

Sebelumnya, wabah Zika di Brasil membuat komunitas internasional mulai meningkatkan kewaspadaan. Virus itu diduga menjadi penyebab ribuan cacat lahir yang dikenal dengan nama mikrocephaly.

Menurut WHO, ada konsensus ilmiah bahwa Zika juga menyebabkan Guillain-Barre, sindrom neurologis langka dengan indikasi paralisis temporal di kalangan manusia dewasa. Pada Februari, WHO menyatakan bahwa wabah Zika sebagai darurat kesehatan publik internasional.

WHO mengaku sudah melakukan sejumlah langkah untuk memitigasi potensi penyebaran Zika. Di 18 negara tempat menyebarnya nyamuk Aedes aegypti, tingkat resiko penyebaran Zika adalah moderat.

Sementara potensi wabah di 36 negara lain masih rendah dan sangat rendah mengingat tidak adanya nyamuk Aedes di tempat tersebut atau iklim yang tidak memungkinkan bagi sang nyamuk untuk berkembang.

Negara dengan potensi penyebaran Zika yang tinggi dan moderat harus memperbaiki sistem pencegahan nyamuk, kata WHO. Negara-negara itu juga harus melengkapi petugas kesehatan sebuah alat pendeteksi Zika dini agar dilaporkan segera.

WHO mengukur resiko penyebaran Zika berdasarkan empat faktor, yaitu kontrol vektor, pengawasan klinis, kapasitas laboratorium, dan resiko komunikasi darurat, demikian Reuters melaporkan.

(G005)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016