Dalam beberapa pekan terakhir berita-berita tentang pemerkosaan dan kekerasan seksual mendominasi media massa nasional dan daerah sehingga menimbulkan keprihatinan yang mendalam berbagai kalangan.

Salah satu kasus yang mendapat perhatian luas yaitu pemerkosaan disertai dengan pembunuhan terhadap seorang anak berusia 14 tahun, YY di Bengkulu belum lama ini.

Keprihatinan paling besar ditujukan pada korban yang mengalami kejahatan itu, namun tak banyak yang memberikan perhatian pada para pelaku yang jumlahnya lebih dari lima orang.

Tindak kejahatan yang dilakukan secara komunal terlebih oleh pelaku yang masih di bawah umur seharusnya juga menjadi perhatian dan peringatan keras bagi pemerintah, media massa dan juga masyarakat.

Para tersangka pelaku pemerkosaan dan pembunuhan terhadap YY, beberapa di antaranya sudah menjalani proses persidangan, bisa jadi tidak akan melakukan kejahatan itu bila tidak gemar berkumpul menghabiskan waktu dengan teman-temannya tanpa tujuan yang jelas.

Fenomena anak-anak di bawah umur, usia sekolah yang gemar berkumpul di sembarang tempat tanpa tujuan yang jelas, atau sekadar menghabiskan waktu terjadi di berbagai daerah. Tak hanya kota besar, namun juga di pelosok-pelosok tanah air.

Elizabeth B Hurlock, seorang akademisi bidang psikologi, membagi tahapan perkembangan kehidupan manusia menjadi beberapa periode berdasarkan umur.

Anak usia 6-11 tahun dikelompokkan menjadi masa kanak-kanak akhir, dan umur 11-13 tahun masa pubertas. Sementara usia 13-17 tahun masuk ke dalam masa remaja awal.

Berdasarkan sejumlah pendapat dalam kajian psikologi, usia sekolah memang masuk ke dalam apa yang disebut dengan "usia gang".

Dalam masa itu, kesadaran sosial berkembang pesat. Menjadi pribadi yang sosial merupakan salah satu tugas perkembangan yang utama dalam periode ini.

Anak menjadi anggota suatu kelompok teman sebaya yang secara bertahap menggantikan keluarga dalam memengaruhi perilaku.

Kelompok teman sebaya didefinisikan oleh Robert J Havighurst sebagai suatu "kumpulan orang yang kurang lebih berusia sama yang berpikir dan bertindak bersama-sama".

Ketika secara psikologis anak pada usia sekolah mulai cenderung untuk berkelompok maka pola ini harus diikuti dengan bagaimana berkelompok yang benar dan mendapatkan lingkungan yang positif bagi tumbuh kembangnya.



Nilai-nilai keluarga

Nilai-nilai yang ditanamkan saat kecil sangat mempengaruhi pandangan dan sikap serta pola pikir anak itu hingga ia dewasa nantinya.

Keluarga merupakan tempat pertama seorang anak belajar mengenai nilai-nilai dasar seperti pengenalan norma agama, norma sopan santun dan norma kesusilaan.

Hampir semua pakar psikologi dan pendidikan sepakat keluarga memegang peranan penting dalam membentuk kepribadian anak yang akan terbawa hingga dewasa.

Sayangnya hingga saat ini tidak semua orang tua memahami pentingnya situasi dan pendidikan di rumah bagi masa depan anak-anak mereka.

Dalam beberapa kasus, orang tua tidak menghiraukan dampak jangka panjang atas keputusan mereka kepada anak dan sekadar mempertimbangkan kebahagiaan anak dengan memenuhi permintaan mereka atas apapun.

Seperti keputusan yang memberikan keleluasaan anak untuk bermain tanpa mempertimbangkan pengaturan jam bermain dan tidak memperhatikan lingkungan anak bermain serta berkelompok.

Demikian juga keputusan orang tua untuk memberikan fasilitas atau hak anak tanpa memperhatikan peraturan yang ada. Contoh sederhananya mengizinkan anak-anak di bawah umur 16 tahun mengendarai sepeda motor.

Akibat dari itu semua, tak jarang kita melihat banyak anak-anak di bawah 16 tahun mengendarai motor bahkan digunakan untuk berangkat sekolah selayaknya mereka menggunakan sepeda tanpa mengindahkan peraturan lalu lintas.

Selain itu kita juga kerap melihat anak-anak di bawah umur menggunakan motor, berkelompok dengan teman-temannya di sejumlah lokasi di pinggir jalan bahkan hingga jauh malam, melebihi kepantasan seorang anak seharusnya berada di luar rumah.

Dan kondisi tersebut bisa mendorong peluang terjadinya kekerasan pada anak.

Ancaman kekerasan pada anak memang bisa terjadi di mana saja, bahkan juga bisa terjadi di dalam keluarga atau lingkungan terdekatnya.

Kondisi ini tentu memprihatinkan saat seharusnya keluarga menjadi tempat pertama mereka merasakan kasih sayang, perlindungan dan pendidikan.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan, kekerasan pada anak meningkat setiap tahun.

Hasil pemantauan KPAI dari 2011 sampai 2014, terjadi peningkatan yang sifnifikan, tahun 2011 terjadi 2.178 kasus kekerasan, 2012 meningkat 3.512 kasus, 2013 bertambah menjadi 4.311 kasus, 2014 melonjak 5.066 kasus.

Anak bisa menjadi korban ataupun pelaku kekerasan dengan tempat terjadinya kekerasan pada anak di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah dan di lingkungan masyarakat.

Hasil monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi menunjukkan bahwa 91 persen anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87,6 persen di lingkungan sekolah dan 17,9 persen di lingkungan masyarakat.

Menurut Wakil Ketua KPAI Maria Advianti kepada media belum lama ini, 78,3 persen anak menjadi pelaku kekerasan dan sebagian besar karena mereka pernah menjadi korban kekerasan sebelumnya atau pernah melihat kekerasan dilakukan kepada anak lain dan dia menirunya.



Peduli pendidikan di keluarga

Belakangan ini pemerintah dan DPR RI akan membahas rancangan peraturan yang mencegah dan menghukum lebih keras pelaku kekerasan seksual sebagai reaksi atas sejumlah kasus pemerkosaan yang terjadi dan berbentuk kejahatan komunal.

Tidak ada yang salah atas kebijakan ini, namun upaya mencegah dibandingkan memberikan hukuman akan jauh lebih efektif dan tidak menimbulkan dampak kerugian yang lebih besar.

Ketika sedari kecil semua orang Indonesia mendapatkan pemahaman yang cukup di dalam keluarga masing-masing mengenai norma sosial, norma agama dan norma susila, maka kekerasan seksual dapat dicegah dan angka kasusnya pun menurun.

Bagaimana mendorong pendidikan keluarga agar efektif berlangsung, salah satunya adalah dengan memberikan pemahaman kepada orang tua bahwa mendidik dengan cara menjadi contoh bagi anak-anak adalah cara yang efektif.

Role play anak terhadap orang tuanya akan sangat mudah terbentuk dan masuk ke dalam benaknya hingga dewasa nanti. Ketika orang tua gemar menyepelekan aturan, kasar dan biasa berbuat curang, maka itu yang akan dilakukan anak di kemudian harinya.

Di saat orang tua dengan mudahnya tidak menghargai waktu, tidak disiplin dan mengabaikan aturan maka secara bertahap pun, anak akan mengadopsi pola pikiran itu.

Sudah banyak contoh yang dapat disaksikan dalam keseharian ketika anak dibiasakan mengendarai motor bersama orang tuanya tak mengenakan helm atau tidak mengindahkan keselamatan.

Belum lagi contoh lain ketika dalam sebuah aktivitas masyarakat, orang dewasa tidak mengindahkan aturan mengenai antrian di bank atau di pusat perbelanjaan misalnya dan menjadi contoh menarik bagi anak-anak.

Atau kebiasaan mengizinkan anak bermain tanpa mengenal waktu, dengan alasan keesokan harinya libur atau dalam masa liburan. Akibat dari pola ini anak-anak akan terbiasa pergi berkelompok dengan teman-temannya dan bila tak menemukan kegiatan positif bisa melakukan pelanggaran hukum dan pola pertemanan yang tak sehat.

Selain mengajarkan norma di dalam keluarga, orang tua juga seharusnya membuat suasana rumah menjadi nyaman. Anak akan merasa senang dan dilindungi di rumahnya.

Meminimalisasi potensi kekerasan di dalam rumah dan mengasuh dengan bijak dan proporsional menjadi kunci bagi anak untuk menganggap rumah sebagai tempat berlindung, tempat belajar, tempat berkeluh kesah dan tempat yang menyenangkan.

Setelah kualitas pendidikan keluarga baik, baru kemudian semua pihak berpikir untuk mengembangkan pendidikan di sekolah dan juga mengembangkan potensi anak untuk memiliki daya saing yang kuat.

Semua berangkat dari pendidikan keluarga, karena "sekolah" pertama anak adalah di rumah mereka sendiri.

Oleh panca hari prabowo
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016