Gorontalo (ANTARA News) - Hari masih pagi, namun tiga anak di pesisir Desa Botubarani bergegas naik perahu dan mengayuh sampan sekitar 20 meter dari bibir pantai.

Setibanya di laut yang lebih dalam, ketiganya lantas berbagi peran. Satu orang memukul-mukul bagian bawah perahu, seorang mengatur posisi sampan dan anak lainnya menebar potongan kepala udang ke laut.

Tak sampai lima menit, dua ekor ikan berukuran sekitar 11 meter datang menghampiri dan menyedot setiap udang yang diberikan.

"Ayo Sherly, makan yang banyak," kata salah seorang anak, sambil mengelus kepala ikan tersebut. Ketiganya tak pelak kegirangan, menikmati persahabatannya dengan sang ikan besar, hiu paus.

"Baru lima hari kami berteman dengan ikan ini, mereka baik, tidak suka menggigit," seru anak lainnya. Hanya bermodalkan limbah udang dan dengan mengetuk badan perahu maka Sherly, nama kesayangan hiu paus itu, muncul bersama kawanannya.

Kemunculan hiu paus di Botubarani, Kecamatan Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo ini mulai terlihat sejak Maret 2016.

Hanya dalam seminggu, lokasi tersebut menjadi objek wisata dadakan. Tercatat ada sekitar dua ribu pengunjung yang datang setiap minggu.

Nelayan setempat, Ridwan Abdul Latif (60) saat ini lebih fokus menjadi pemandu wisata di lokasi tersebut dibanding melaut seperti biasanya.

Ia mengakui kemunculan hiu paus itu, menjadi berkah bagi warga pesisir Selatan Gorontalo.

Dalam sekejap, sejumlah warung berdiri dan menjajakan makanan bagi pengunjung. Ibu-ibu tak lagi bertopang dagu menyaksikan kedatangan wisatawan.

"Semula pintu masuk ke kawasan ini hanya satu, namun dengan membludaknya pengunjung pintu masuk ditambah menjadi lima. Nelayan yang mendaftarkan perahunya untuk melayani pengunjung juga sudah mencapai 80," kata Ridwan.

Ikan Unik
Hiu paus atau whale shark memiliki nama ilmiah Rhincodon typus, merupakan jenis ikan terbesar di dunia. Rata-rata panjang total hiu ini sekitar 12 meter, bahkan bisa sampai 20 meter.

Data Kementrian Perikanan dan Kelautan menyebut ikan ini berkepala lebar dan datar, mulut lebar, mata kecil, dan mempunyai lima celah insang sangat besar. Juga memiliki dua sirip punggung dan dua sirip dada, cuping sirip ekor bagian atas lebih besar dari cuping sirip ekor bagian bawah.

Pangkal ekor hiu paus berbentuk pipih dengan keel (tonjolan pada bagian belakang awal sirip ekor/caudal penduncle) di kedua sisinya. Tubuh berwarna abu-abu dengan corak bulatan (totol) dan garis-garis yang berwarna putih dan kuning membuat ikan ini mudah dikenali.

Meskipun bertubuh besar, faktanya hiu paus hanya makan plankton dan ikan berukuran kecil, serta hidup di perairan hangat atau tropis.

Hiu paus berkembang biak dengan cara ovovivivar, pada ikan hiu paus betina berukuran besar dapat menghasilkan sekitar 300 embrio dan melahirkan sekitar 12 anakan.

Pada saat dilahirkan, anakan ikan hiu paus berukuran sekitar 55 sampai 64 sentimeter. Ikan yang betina pada umumnya mempunyai ukuran lebih besar dari jantan.

Individu jantan mencapai usia dewasa pada ukuran lebih dari enam meter, dan pada betina mencapai usia dewasa pada ukuran lebih dari delapan meter.

Usia dewasa ikan umumnya sekitar 25 tahun,mempunyai pertumbuhan yang lambat dan dapat mencapai usia sekitar 60-100 tahun.

Pada tahun 2013, pemerintah akhirnya menetapkan hiu paus sebagai salah satu jenis ikan yang dilindungi, sesuai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 18/KEPMEN-KP/2013 Tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu Paus.

Sementara menurut the International Union for Conservation of Nature (IUCN), hiu paus masuk dalam kategori rentan (vulnerable).

Diteliti
Lembaga peneliti hiu paus, Whale Shark Indonesia (WSI) melakukan penelitian terhadap hiu paus di Botubarani selama 12-30 April 2016 dan mencatat ada 17 individu di lokasi itu, dan semuanya berkelamin jantan. Penelitian tersebut akan terus dilakukan hingga Oktober 2016.

"Panjang total rata-rata berkisar tiga sampai tujuh meter. Dari panjang itu, maka hiu paus di Botubarani dikatergorikan juvenil atau belum dewasa," kata Mahardika Rizqi Himawan dari WSI.

Ia menjelaskan, geografis Indonesia yang berada di ekuator dengan iklim tropis dan karateristik wilayah kepulauan, membuat hiu paus mudah ditemui.

Beberapa lokasi kemunculan hiu paus di Indonesia yakni Taman Nasional Teluk Cemdrawasih, Talisayan Kalimantan Timur, Probolinggo Jawa Timur, Pulau Weh Aceh dan Gorontalo.

Dari data World Wild Fund (WWF) jumlah hiu paus di Teluk Cenderawasih Papua berjumlah 126 ekor. Sementara hiu paus yang didata WSI yakni 36 ekor di Kalimantan Timur, 28 ekor di Probolinggo Jawa Timur, satu ekor di Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah, satu ekor di Pulau Sabang, dan 17 ekor di Gorontalo.

Sebelumnya, kemunculan whale shark di Provinsi Gorontalo dilaporkan terdapat di lokasi lainnya di Gorontalo dalam kondisi terdampar. Pada tahun 2012, hiu sepanjang delapan meter terdampar di Pantai Dulupi Dusun Bajo Kecamatan Dulupi, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo. Pantai tersebut masih termasuk dalam perairan Teluk Tomini, sama dengan Botubarani.

Tubuh hiu paus riskan luka bila berbenturan dengan kapal, sehingga pengelola wisata harus mengatur jarak kapal dan melarang pengunjung menyentuh hiu, ujarnya.

Terkait pola migrasi, WSI menggunakan pendekatan genetika untuk mencocokkan kedekatan kekerabatan hiu paus di berbagai daerah.

Mahardika memprediksi jumlah hiu paus di Botubarani akan terus bertambah, mengingat pengunjung yang berinteraksi dengan ikan itu juga selalu memberi makan.

Jaminan mendapatkan makanan setiap hari ini yang membuat mereka terus kembali ke Pantai Botubarani, katanya.

Peneliti ini mengungkapkan, faktor lain yang membuat hiu paus betah berada di perairan itu karena adanya aliran air bekas pencucian udang vaname dari PT Sinar Ponula Deheto yang dibuang ke pantai.

Air itu mengandung sari-sari dan kulit udang yang mengundang hiu paus datang untuk makan.

"Seharusnya hiu paus tidak diberi makan untuk menjaga perilaku alamiahnya. Namun yang terjadi di Gorontalo, ikan ini sudah mengalami perubahan perilaku. Diketuk perahunya saja ikan sudah datang," tambahnya.

Pewarta: Debby Mano
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016