Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Agung mengaku bahwa pegawainya bernama Royani, saksi dalam kasus dugaan suap permohonan peninjauan kembali (PK), sudah lama tidak berada di tempat kediamannya.

"Di situ memang saya bertemu beliau (Ketua MA Hatta Ali) dan beliau mengatakan bahwa Mahkamah juga sudah memeriksa tempat tinggal Pak Royani, ada dua, tetapi tidak ada di tempat itu menurut Pak ketua MA," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di gedung KPK Jakarta, Kamis.

Laode bertemu dengan Ketua MA Hatta Ali pada acara jamuan makan dengan Ketua MA Belanda pada 19 Mei 2016.
Sedangkan Royani yang juga menjadi supir dari Sekretaris MA Nurhadi merupakan salah satu saksi dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pemberian hadiah atau janji terkait pengajuan permohonan Peninjauan Kembali yang didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

KPK sedang mencari Royani karena Royani sudah dua kali dipanggil tapi tidak memenuhi panggilan tanpa keterangan sehingga Royani diduga disembunyikan.

"Tetapi Pak Ketua MA mengatakan bahwa kalau dia (Royani) itu kan pegawai negeri, kalau misalnya tidak hadir sebagaimana beberapa hari 30 hari berturut-turut maka akan diberi peringatan dan setelah itu akan dipecat kalau tidak hadir. Itu yang diberikan komitmen Ketua MA kepada KPK," ungkap Laode.

Namun, Laode mengakui bahwa Royani punya keterangan penting dalam kasus ini, termasuk peran Nurhadi.

"Dia sebagai saksi ingin ditanyakan penyidik KPK seperti itu saja," tambah Laode.

Kemarin KPK sudah memeriksa Nurhadi selama sekitar delapan jam, namun Nurhadi enggan mengungkapkan isi pemeriksaannya. Nurhadi pun membantah menyembunyikan Royani.

Kemarin, petinggi PT Paramount Enterprise Eddy Sindoro pun dipanggil KPK namun ia tidak memenuhi panggilan KPK untuk kedua kalinya sehingga KPK akan melakukan upaya paksa.

"Eddy Sindoro akan dipanggil lagi. Semua saksi yang dibutuhkan KPK dan belum berhasil didatangkan KPK maka penyidik-penyidik KPK akan pergi," tegas Laode.

Hanya Laode tidak mengungkapkan informasi apa yang ingin digali penyidik dari Eddy.

"Kalau dia dipanggil penyidik berarti dia dianggap mengetahui informasi sekurang-kurangnya begitu," tambah Laode.

KPK menduga Royani adalah orang yang menjadi perantara penerima uang dari sejumlah pihak yang punya kasus di MA.

Satu konglomerasi bisnis diduga terlibat kasus ini karena sejumlah anak perusahaannya tengah berperkara di Mahkamah Agung. Doddy diduga sebagai orang yang menjadi orang yang menangani sejumlah perkara tersebut dan melaporkan kepada induk konglomerasi bisnis itu.

KPK melakukan OTT pada Rabu (20/4) di hotel Accacia Jalan Kramat Raya Jakpus dan mengamankan panitera/sekretaris PN Jakpus Edy Nasution dan seorang swasta Doddy Aryanto Supeno. Penangkapan dilakukan seusai Doddy memberikan uang Rp50 juta kepada Edy dari komitmen seluruhnya Rp500 juta terkait pengurusan perkara di tingkat PK di PN Jakpus.

KPK menetapkan dua tersangka yaitu Edy Nasution dengan sangkaan pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tengan penyelenggara negara yang menerima hadiah dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Sebagai pemberi suap adalah Doddy Aryanto Supeno dengan sangkaan pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke-1 tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016