Cilacap (ANTARA News) - Terpidana mati kasus narkoba Freddy Budiman mengajukan surat permohonan tobat nasuha saat sidang peninjauan kembali (PK) yang digelar di Ruang Wijayakusuma, Pengadilan Negeri Cilacap, Jawa Tengah, Rabu.

Surat tersebut dibacakan Freddy Budiman dalam sidang yang beragendakan pembacaan memori PK dengan majelis hakim yang diketuai Catur Prasetyo serta beranggotakan Vilia Sari dan Cokia Ana Pontia.

Dalam surat yang ditulis pada tanggal 2 April 2016 atau saat Freddy masih berada di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, terpidana mati juga memohon ampun kepada negara.

"Surat permohonan tobat nasuha kepada Allah SWT dan permohonan ampunan kepada negara melalui Majelis Hakim Agung yang mengadili permohonan PK saya di Mahkamah Agung RI Jakarta," kata Freddy Budiman saat membacakan surat tobatnya.

Ia mengaku benar bertobat dan akan berhenti menjadi pengedar dan produsen narkoba.

Selain itu, ia mengaku menyadari dan menyesali segala perbuatannya dalam jaringan narkoba internasional.

"Dengan menyatakan sepenuhnya hidup mati saya kepada Allah SWT. Saya akan berjuang keras serta berusaha maksimal untuk hidup benar-benar menjadi manusia baru meninggalkan segala perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT, demi melihat istri dan empat orang anak saya," katanya.

Freddy mengaku siap menerima konsekuensi eksekusi mati jika di sisa pidana mati masih menjalani bisnis narkoba.

"Saya memohon maaf sebesar-besarnya kepada seluruh masyarakat Indonesia semoga permohonan saya dikabulkan oleh negara dan Majelis Hakim Agung," katanya.

Sementara saat membacakan memori PK, penasihat hukum Freddy Budiman, Untung Sunaryo mengatakan bahwa kliennya memiliki peran yang sama dengan sejumlah saksi yang dalam sidang tingkat pertama di PN Jakarta Barat, antara lain Candra Halim, Abdul Syukur, dan Supriyadi.

Akan tetapi, kata dia, vonis yang dijatuhkan majelis hakim kepada Freddy Budiman berbeda jauh dengan vonis untuk para saksi tersebut.

"Misalnya, Supriyadi divonis tujuh tahun penjara, sedangkan klien kami divonis mati," katanya.

Oleh karena itu, ia mengharapkan majelis hakim untuk meninjau kembali vonis mati yang dijatuhkan PN Jakarta Barat kepada Freddy Budiman.

Saat diminta memberi tanggapan atas memori PK tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang terdiri atas Anton Suhartono, Amril Abdi, dan M. Farudi Arbi meminta majelis hakim untuk menolak permohonan PK yang diajukan Freddy Budiman.

Usai mendengarkan pembacaan memori PK dan tanggapan JPU, Ketua Majelis Hakim Catur Prasetyo bertanya kepada penasihat hukum pemohon PK, apakah akan mengajukan saksi atau tidak mengajukan.

Terkait pertanyaan tersebut, Untung Sunaryo menyatakan tidak akan mengajukan saksi dalam sidang pemeriksaan PK yang diajukan Freddy Budiman.

Oleh karena itu, Ketua Majelis Hakim Catur Prasetyo memberi kesempatan kepada penasihat hukum dan JPU untuk menyampaikan tanggapan.

Setelah berdiskusi dengan kliennya, penasihat hukum Freddy Budiman meminta waktu satu minggu untuk menyusun tanggapan atau kesimpulan secara tertulis.

Akan tetapi, JPU meminta waktu satu hari untuk penyampaian tanggapan.

"Kalau bisa, besok (Kamis, red.) saja," kata JPU Anton Suhartono.

Ketua Majelis Hakim Catur Prasetyo memutuskan sidang dilanjutkan pada tanggal 1 Juni 2016 dengan agenda pembacaan tanggapan penasihat hukum dan JPU serta penandatangan berita acara pemeriksaan.

"Kami minta tanggapan dibuat tertulis karena akan disampaikan ke Mahkamah Agung. Agar tidak bolak-balik, pada sidang besok akan dilakukan penandatanganan berita acara pemeriksaan," katanya.

Pewarta: Sumarwoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016