Jakarta (ANTARA News) - Ketua Panitia Kerja revisi Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme, M. Syafii mengatakan konsep revisi yang diajukan pemerintah belum mengakomodir beberapa hal, salah satunya perlindungan Hak Asasi Manusia.

"Ada banyak yang belum terakomodir, misalnya siapa yang disebut teroris, ini menjadi bias," katanya di Gedung DPR, Jakarta, Rabu.

Dia mengatakan, dalam banyak kasus pemberantasan terorisme, banyak orang yang ditangkap dan mendapatkan kekerasan dari aparat.

Syafii mengungkapkan data Komnas HAM bahwa ada lebih dari 120 orang tewas sebelum terbukti sebagai teroris bahkan identitasnya ada yang anonim.

"Karena itu kami menilai perlu kejelasan (siapa yang disebut teroris dan perlindungan HAM terduga teroris)," ujarnya.

Politikus Partai Gerindra itu menekankan bagaimana penegakan HAM bagi mereka yang ditangkap mulai proses penangkapannya hingga pengadilan termasuk perlindungan terhadap aparat dalam menjalankan tugasnya.

Selain itu menurut dia, terhadap korban, perlu diperjelas siapa yang menanggung risiko sebelum ada kompensasi dan siapa yang menetapkan seseorang disebut korban.

"Lalu siapa yang akan eksekusi terhadap hak-hak seorang sebagai korban," katanya.

Syafii mengatakan, Panja juga menyoroti mengenai transparansi program termasuk pemberian dana bagi keluarga terduga teroris yang tewas dalam proses penangkapan.

Dia menekankan, harus ada nomenklatur yang jelas dalam pemberian dana itu karena harus dipertanggung jawabkan sumber dananya.

"Maka kami menilai perlu dewan pegawas sehingga ada yang mengawasi terkait operasional dan audit," ujarnya.

Menurut dia, perlu penanganan yang profesional untuk menghindari penyelewengan keuangan dari aparat dalam upaya pemberantasan korupsi.

Selain itu menurut dia, belum diatur terkait kejahatan siber dalam dunia terorisme, karena aliran dana teroris bisa dari mana pun dan siapa pun.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016