Ke depan BUMN perlu melakukan rating (mendapat peringkat). Sekarang kami sedang proses holdingisasi. Yang baru selesai keuangan Pertamina, di mana PT Perusahaaan Gas Negara (PGN) jadi bagian Pertamina,"
Jakarta (ANTARA News) - Menteri BUMN Rini Soemarno meminta kelompok korporasi (holding) BUMN, terutama kelompok BUMN Energi yang akan dibentuk perdana, segera mengkaji penerbitan obligasi atau surat utang.

Penerbitan obligasi seharusnya sudah menjadi opsi BUMN untuk memperoleh dana segar mengingat selama ini BUMN terlalu mengandalkan sumber pendanaan dari perbankan, kata Rini di Jakarta, Rabu.

Selain karena obligasi merupakan pendanaan untuk jangka panjang dengan risiko yang lebih minim, penerbitan obligasi juga seharusnya menjadi cara BUMN untuk memelopori pendalaman pasar keuangan.

"Ke depan BUMN perlu melakukan rating (mendapat peringkat). Sekarang kami sedang proses holdingisasi. Yang baru selesai keuangan Pertamina, di mana PT Perusahaaan Gas Negara (PGN) jadi bagian Pertamina. Nanti Pertamina saya harapkan dapat rating sehingga bisa terbitkan obligasi," kata dia.

Rini mengatakan BUMN juga perlu melihat potensi limpahan dana atau modal yang akan masuk ke Indonesia. Rini meyakini dana asing yang masuk ke pasar domestik akan semakin banyak karena diperkirakan lembaga peringkat Standard and Poors akan menaikkan peringkat Indonesia menjadi layak investasi (investment grade).

Oleh karena itu, lanjut Rini, BUMN harus memanfaatkan peluang tersebut untuk melepas ketergantungan sumber pembiayaan dari perbankan.

"BUMN harus bisa manfaatkan ini. Dengan obligasi pun kita bisa dapat biaya dana (cost of fund) yang rendah," ujarnya.

Rini meminta setelah "holding" BUMN energi yang dipimpin Pertamina mengeluarkan obligasi, selanjutnya adalah "holding" BUMN pertambangan.

Di tempat yang sama, Gubernur BI Agus Martowardojo juga meminta BUMN untuk lebih aktif menerbitkan obligasi agar sumber pembiayaan tidak hanya mengandalkan kredit perbankan.

Hingga saat ini, kata dia, industri perbankan menyumbang total 71,9 persen terhadap pembiayaan pembangunan di Indonesia.

Data pasar obligasi korporasi bahkan lebih menunjukkan terbatasnya pasar keuangan domestik.

Saat ini, menurut data BI, pasar penerbitan obligasi korporasi di Indonesia baru mencapai 2,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). BI menargetkan pada 2030 nilai obligasi korporasi dapat mencapai 17 persen terhadap PDB.

Pasar obligasi korporasi Indonesia pun jauh tertinggal dibanding negara-negara Asia Tenggara seperti Filipina yang sebesar 5,8 persen dari PDB, Thailand 17,4 persen dari PDB, dan Singapura yang sebesar 32,4 persen dari PDB.

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016