Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah menilai terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, harus diimbangi dengan upaya pencegahan kekerasan dan pelecehan seksual.

"Perppu itu juga harus mencakup adanya tindakan pencegahan yang massif. Karena produksi gambar dan produk pornografi masuk kedalam setiap orang itu melalui telepon genggam dan itu dapat merusak otak," katanya di Gedung Nusantara II, Jakarta, Kamis.

Fahri menilai dikeluarkannya Perppu datang dari kedaruratan yang memaksa dan luar biasa jadi dirinya dapat mengerti Presiden Joko Widodo mengambil keputusan itu.

Menurut dia, hukuman kebiri yang diatur dalam Perppu itu hanya membunuh satu alat kelamin yang secara tradisional sebagai alat kelamin padahal berdasarkan riset, yang paling penting adalah otak.

"Jadi yang paling harus kita bunuh agar masyarakat tidak salah tingkah terhadap seks itu adalah menyembuhkan otak manusia," ujarnya.

Dia menilai, pencegahan yang lebih massif bisa dilakukan dengan mengendalikan otak positif manusia agar tidak rusak oleh produk pornografi.

Politikus PKS itu menilai perlu upaya pencegahan karena kalau birahi terus diproduksi melalui pornografi maka orang gila akan semakin banyak dan mengancam anak-anak.

"Kondisi saat ini sudah tidak rasional lagi, bahkan sudah masuk ke dalam rumah tangga misalnya kakek kepada cucu," katanya.

Fahri mengatakan pemerintah harus menyosialisasikan Perppu itu secara massif karena harus memiliki daya tekan sambil menunggu upaya pencegahan secara massif.

Sebelumnya, Presiden pada Rabu (25/5) telah menandatangani Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

"Perppu ini dimaksudkan untuk mengatasi kegentingan yang diakibatkan terjadinya kekerasan seksual terhadap anak yang makin meningkat secara signifikan," kata Presiden Joko Widodo dalam jumpa pers di Istana Negara, Jakarta, Rabu (25/5) sore.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016