Jakarta (ANTARA News) - Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur akan kembali melepasliarkan lima orangutan dari Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Timur di Samboja Lestari ke Hutan Kehje Sewen, Kabupaten Kutai Timur dan Kutai Kertanegara.

"Kami di Samboja Lestari senang sekali bisa kembali melepasliarkan orangutan rehabilitasi. Kelima orangutan ini yang kami beri nama Angely, Gadis, Kenji, Hope, dan Raymond akan menikmati kehidupan di alam bebas, di Hutan Kehje Sewen," kata Manajer Program Samboja Lestari Drh. Agus Irwanto, lewat keterangan pers, Jumat.

Menurut Agus, kelima orangutan tersebut telah menjalani masa rehabilitasi cukup lama, bahkan ada yang mencapai sembilan tahun.

"Mereka kini sudah siap hidup di alam liar, dan kami semua berharap mereka bisa membentuk populasi liar di sana, menyusul 40 orangutan lain yang telah lebih dulu dilepasliarkan," ujarnya.

Kehje Sewen merupakan hutan hujan seluas 86.450 hektar di Kalimantan Timur yang dikelola dalam skema Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) oleh PT RHOI (Restorasi Habitat Orangutan Indonesia). Yayasan BOS memperoleh izin pemanfaatan hutan ini di tahun 2010, khusus untuk pelepasliaran orangutan rehabilitasi.

"Tugas kami adalah untuk memastikan orangutan-orangutan yang direhabilitasi telah siap untuk dilepasliarkan, dan setelah pelepasliaran mereka dapat beradaptasi dan bertahan hidup di lingkungan barunya," kata Direktur Konservasi PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI) Dr. Aldrianto Priadjati.

Ia menambahkan pasca pelepasliaran akan ada pemantauan yang dilakukan setiap harinya di hutan.

"Kami saat ini juga masih mengupayakan lebih banyak areal pelepasliaran orangutan dengan memperluas areal hutan Kehje Sewen serta dengan menggunakan skema IUPHHK-RE, baik di Kalimantan Timur maupun di Kalimantan Tengah. Kami mengharapkan dukungan maksimal dari seluruh pihak untuk mewujudkan hal ini, karena banyak orangutan yang saat ini ada di pusat rehabilitasi kami perlu untuk segera dilepasliarkan," tuturnya.

Ketiga orangutan jantan dan dua orangutan betina itu akan menempuh perjalanan darat dari Samboja Lestari menuju ke Muara Wahau, ibu kota Kecamatan di Kabupaten Kutai Timur. Perjalanan darat tersebut membutuhkan waktu sekitar 12 jam dan setiap dua jam rombongan akan berhenti untuk memeriksa kondisi orangutan.

Dari Muara Wahau, perjalanan akan dilanjutkan selama sekitar lima jam sampai akhirnya sampai ke titik yang disebut "jalan buntu". Titik itu, berjarak sekitar 200 meter dari Sungai Telen dan terletak di tepian Hutan Kehje Sewen, merupakan titik terakhir yang bisa dilalui kendaraan.

Dari situ, kandang transport akan diangkat dan dibawa dengan perahu ces menyeberang sungai. Lalu kandang transport kelima orangutan kandidat pelepasliaran ini akan dibawa oleh kendaraan berpenggerak empat roda sampai ke titik pelepasliaran di Hutan Kehje Sewen.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur Sunandar Trigunajasa N., mengapresiasi upaya pelepasliaran orangutan oleh Yayasan BOS.

"Orangutan dan hutan merupakan milik kita semua dan keberadaannya dilindungi oleh undang-undang sehingga kita wajib mengedepankan pemikiran ini mengembangkan lahan di provinsi kita. Mari kita tingkatkan upaya bersama untuk mendukung pelestarian lingkungan alam kita yang kaya," ujar Sunandar.

Lahan semakin terbatas

CEO Yayasan BOS Dr. Ir. Jamartin Sihite mengungkapkan lahan pelepasliaran orangutan semakin terbatas.

"Tahun lalu program rehabilitasi kami mendapatkan ancaman yang tidak bisa dipandang remeh. Sebanyak lebih dari 150 hektar lahan kami di Samboja Lestari habis dilalap api. Dengan besarnya jumlah orangutan yang saat ini kami rehabilitasi, yaitu 200 individu, tidak ada tempat di Kalimantan Timur yang sanggup menampung evakuasi seluruh orangutan kami seandainya hal itu kembali terjadi," tutur Jamartin.

Ia pun meminta dukungan dari berbagai pihak dalam kelangsungan perlindungan orangutan dan habitatnya di Kalimantan Timur.

Pewarta: Monalisa
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2016