Jakarta (ANTARA News) - KPK menyita dua mobil dan uang bernilai sekitar Rp500 juta dalam penggeledahan untuk penyidikan perkara dugaan suap kepada hakim untuk mempengaruhi putusan terkait kasus tindak pidana korupsi penyalahgunaan honor Dewan Pembina RSUD Bengkulu.

"Terkait kasus ini, hari ini penyidik menyita 2 mobil masing-masing 1 unit mobil Toyota Fortuner milik tersangka JP (Janner Purba) dan 1 unit mobil Toyota Yaris milik tersangka SS (Syafri Syafii)," kata pelaksana harian (plh) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati di Jakarta, Jumat.

Kedua mobil tersebut saat ini dititipkan di Polda Bengkulu.

KPK pada 25-26 Mei 2016 menggeledah sembilan lokasi di Bengkulu yaitu kantor Pengadilan Negeri Tipikor Bengkulu, kantor PN Kepahiang, rumah dinas tersangka Janner Purba, rumah tersangka Toton, kantor Perpustakaan Daerah Bengkulu tempat tersangka Edi Santroni bekerja, rumah Edi, rumah tersangka Syafri Syafii, kantor Korpri tempat tersangka Syafri bekerja dan rumah tersangka Badaruddin Amsori Bachsin.

"Uang Rp499.800.000 juga disita penyidik saat menggeledah rumah dinas tersangka JP," tambah Yuyuk.

Uang itu diduga adalah pemberian dari tersangka Edi Santroni pada 17 Mei 2016.

"Selesai agenda penggeledahan, tim penyidik kembali ke Jakarta. Pemeriksaan saksi-saksi terkait kasus ini akan dilakukan di Jakarta pada pekan depan," jelas Yuyuk.

Dalam perkara ini, KPK menetapkan lima orang tersangka yaitu Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang sekaligus hakim tindak pidana korupsi (Tipikor) Janner Purba, hakim ad hoc PN kota Bengkulu Toton, panitera PN Kota Bengkulu Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy, mantan Kepala Bagian Keuangan rumah sakit Muhammad Yunus Syafri Syafii, mantan Wakil Direktur Umum dan Keuangan RS Muhammad Yunus Edi Santroni.

KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap lima orang tersebut pada Senin (23/5) di beberapa lokasi di Kepahiang Bengkulu. Dalam OTT tersebut KPK menyita uang sebesar Rp150 juta yang diberikan oleh Syafri kepada Janner sehingga total uang yang sudah diterima Janner sekitar Rp650 juta.

Uang tersebut diberikan agar majelis hakim yang dipimpin oleh Janner Purba dengan anggota majjelis Toton dan Siti Ansyiria membebaskan Edi dan Syafri selaku terdakwa yang masing-masing dituntut 3,5 tahun penjara dalam kasus penyalahgunaan honor Dewan Pembina Rumah Sakit Umum Daerah Bengkulu Muhammad Yunus. Vonis kasus itu rencananya akan dibacakan pada Selasa (24/5).

Kasus tersebut berawal dari Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor Z. 17 XXXVIII Tahun 2011 Tentang Tim Pembina Manajemen RSMY mengenai honor tim pembina RSUD M Yunus termasuk honor gubernur Bengkulu saat itu Junaidi Hamsyah.

Padahal SK itu bertentangan dengan Permendagri No 61 Tahun 2007 mengenai Dewan Pengawas yang menyebutkan bahwa Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) tidak mengenal tim pembina.

KPK menyangkakan Janner dan Toton berdasarkan pasal 12 huruf a atau b atau c atau pasal 6 ayat 2 atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Badaruddin Amsori Bachsin disangkakan berdasarkan pasal 12 huruf a atau b atau c atau pasal 6 ayat 2 atau pasal 5 ayat 2 atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP sehingga ia diduga sebagai penerima sekaligus pemberi hadiah atau janji kepada penyelenggara negara dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Sementara Syafri Syafii dan Yunus Edi disangkakan melanggar pasal 6 ayat 1 atau pasal 6 ayat 1 huruf a atau b dan atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP mengenai memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016