Surabaya (ANTARA News) - Kejahatan seksual bukan hanya soal kejahatan. Kejahatan seksual terdiri dari dua kata yakni kejahatan dan seksual, namun titik tekan orang selama ini hanya pada kejahatan.

Karena itu, kejahatan seksual yang sudah tergolong "darurat" itu masih hanya dipahami secara sepihak dengan mencari pelaku, korban, standar hukuman, dan perlu-tidaknya diperberat.

Akar masalah dalam kejahatan seksual itu ada pada kata "Seksual". Artinya, bagaimana cara meminimalkan berbagai tindak kejahatan seksual itu?.

"Adanya kasus kekerasan serta asusila pada anak, sebagian besar dipengaruhi dari menonton video porno," kata Mensos Khofifah Indar Parawansa dalam kunjungan kerja ke Kediri, beberapa waktu lalu.

Nah, konten pornografi yang disebut Mensos itulah yang memicu tindakan asusila maupun kekerasan seksual. Hal itu sudah diamatinya sejak menjabat Menteri Pemberdayaan Perempuan pada zaman Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

"Hubungan antara konten pornografi serta kekerasan itu didasari oleh fakta bahwa anak-anak saat ini sudah tidak asing dengan berbagai produk komputer," tuturnya.

Kecanggihan teknologi bisa lebih mudah bagi anak-anak untuk bisa mengakses berbagai konten, termasuk lewat telepon seluler.

"Saya tidak lakukan analisa, tapi saya punya data. Dari data yang saya dapat tahun 2000, ketika anak-anak mengakses konten video porno, maka 67-70 persen itu potensial addict (kecanduan)," ucapnya.

Dampaknya juga bisa lebih jauh, ketika anak-anak sudah kecanduan menonton konten porno, maka akan menganggap hal yang semula tabu menjadi biasa. Bahkan, yang lebih parah, 39-49 persen potensial untuk ikut menirukan.

Dalam konteks inilah, Mensos menilai peran keluarga sangat penting untuk lebih mengawasi atau melakukan pendampingan anak-anaknya.

"Dengan menjadi sahabat, sehingga anak-anak pun akan merasa lebih nyaman berada di lingkungan keluarga, dan justru bukan lebih nyaman berada di lingkungan teman," imbuhnya.

Peran lain keluarga yang juga vital adalah menanamkan pendidikan agama sejak dini. "Dengan pendidikan agama, anak pun diharapkan mempunyai akhlak yang lebih baik," ujarnya.

Satu lagi yang tak kalah pentingnya adalah pendidikan reproduksi. Selama ini, sekolah hanya mengajarkan soal seksual secara biologis, misalnya bentuk dan organ reproduksi.

Namun, pemahaman anak terkait bagian yang tidak boleh disentuh maupun yang boleh disentuh justru tidak diajarkan, karena itu orang tua juga dapat memainkan peran yang belum dilakukan sekolah itu.

Bahkan, kata mantan Mendikbud Mohammad Nuh saat berbicara dalam seminar "Peran Guru BK dalam Mengatasi Penyalahgunaan IT" di Unusa (14/5/2016), orang tua/keluarga dapat bersinergi dengan sekolah (guru BK/Bimbingan Konseling) guna mengantisipasi kejahatan seksual itu.

Jadi, ada tiga pihak yang berperan dalam membentuk karakter anak-anak yang mendapat tantangan berat dari kemajuan teknologi yakni keluarga, sekolah, dan lingkungan, bahkan peran keluarga tidaklah kecil.

Peran sekolah yang selama ini dianggap besar, ternyata sama besarnya dengan peran keluarga, karena anak muda ideal itu memiliki tiga karakter yakni intelektual, agama, dan pribadi.

Karakter intelektual itu dibentuk oleh sekolah dan orang tua (dua pihak), lalu karakter agama juga dibentuk sekolah dan orang tua (dua pihak), sedangkan karakter pribadi itu dibentuk oleh sekolah, orang tua, dan lingkungan (tiga pihak).

Artinya, peran sekolah itu tiga kali (intelektual, agama, karakter pribadi), peran orang tua juga tiga kali (intelektual, agama, karakter pribadi), dan peran lingkungan hanya satu kali (karakter pribadi). Jadi, peran sekolah : keluarga : pribadi adalah 3 : 3 : 1 (43 persen : 43 persen : 14 persen).

Oleh karena itu, jangan salahkan anak-anak yang bisa terpapar kondisi "darurat kejahatan seksual", "darurat karakter", atau "darurat penyalahgunaan IT" tanpa pendampingan dari hari ke hari, bila keluarga belum memiliki peran 43 persen!

Oleh Edy M Ya`kub
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016